Nostalgia Hari Pertama Puasa

Sumber: Pexels

Hari pertama puasa selalu mengundang nostalgia. Di bulan Ramadan kali ini, perempuan itu teringat momen hari pertama puasa di masa kecilnya, ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar sekitar 17 tahun lalu...


Hari itu libur sekolah. Ia bersama teman-temannya sibuk tadarus Al-Qur'an usai jama'ah Subuh di masjid kampung. Di sela-sela menyimak bacaan Qur'an, kadang mereka bermain 'putri-putrian', jenis permainan peran khas anak perempuan yang membayangkan dirinya menjadi seorang putri kerajaan.


Di dalam masjid, mereka berlaga bak artis profesional yang saling melempar dialog story telling dadakan. Kadang membicarakan pangeran, keluarga yang berebut harta warisan, dan tema-tema klise lainnya yang mereka tahu dari tayangan sinetron di TV. Kalau diingat-ingat konyol sekali. Sungguh obrolan yang tak sesuai umur mereka, tapi memang begitulah adanya.


Selepas tadarus, mereka berencana pergi jalan-jalan menuju sebuah vila besar yang ada kolam renangnya. Letaknya berada di kampung sebelah yang berjarak sekitar 2 km. Tak peduli sedang berpuasa, enam orang anak berjalan kaki beriringan dengan penuh kebahagiaan menuju vila nan megah itu. Rencananya, mereka ingin berenang bersama di kolam renang berair biru yang ada seluncurnya. Mumpung hari itu liburnya bertepatan dengan hari Senin, jadi mereka bisa renang gratisan tanpa membeli karcis.


Lagi pula, mereka tak punya uang untuk membeli karcis renang seharga 10 ribuan kala itu. Nominal segitu adalah total uang saku mereka untuk 5-10 hari. Sayang banget kalau hanya dipakai untuk sekali renang.


Seperti bocah-bocah berjiwa petualang pada umumnya, mereka enggan berjalan kaki melewati jalan raya. Mereka justru memilih berjalan kaki melewati jalan persawahan yang becek dengan alasan 'mbobol'. Padahal, kalau lewat jalan itu justru lebih jauh dan lama. Maklum, namanya juga 'si Bolang wanna be' pada masanya.


Sayangnya, ketika melewati jalanan persawahan itu, salah satu dari mereka tak sengaja bertemu ibunya yang sedang mreman tandur. Ibu anak itu bilang, "Wis ojo melok. Muliho ae, ngancani mbah".


Sontak, mata anak itu berkaca-kaca. Ia sangat ingin pergi ke vila itu dan berenang bersama teman-temannya. Apalagi, itu akan menjadi pengalaman pertamanya benenang di kolam renang. Biasanya dia hanya renang amatiran di kali penuh kerikil yang ada di dekat rumahnya. Namun, mendengar larangan ibunya, dia tak kuasa untuk melawan. Dia terlalu takut pada ibunya. Dia juga teringat mbah di rumahnya yang baru saja pulang dari rumah sakit. Kasihan kalau sendirian di rumah.


Mau tak mau, ia pun pamit kepada teman-temannya dan memilih pulang ke rumah. Ia berbalik badan dan berjalan kaki sendirian. Tanpa terasa, air mata pun menetes dari sudut mata yang telah memanas sejak tadi. Kepalanya dipenuhi beragam pikiran buruk tentang ibunya.


"Mengapa aku tak boleh ikut main? Mengapa aku tak bisa sebebas teman-temanku yang lain?" batinnya lirih sambil mengusap air mata di wajahnya agar tak seorang pun melihatnya bersedih.


Tak disangka, dua orang temannya berlari menyusul gadis itu. Mereka punya ide cemerlang supaya mereka tetap bisa pergi renang bersama-sama tanpa sepengetahuan ibu gadis itu. Caranya, dua anak tadi mengajak si gadis yang bersedih berjalan kaki lewat jalan raya, terpisah dengan tiga teman lainnya yang menyusuri jalan sawah. Tanpa babibu, gadis itu pun langsung mengiyakan saran kedua temannya. Kesedihan di wajahnya menguap seketika, berganti menjadi senyum yang mengembang.


Akhirnya, setelah beberapa menit berjalan kaki secara terpisah, enam anak itu pun sampai di vila yang dituju. Mereka langsung menuju kolam renang dan segera menceburkan diri ke kolam yang cukup luas itu. Mereka bergantian bermain seluncur ke dalam kolam, lalu adu gaya renang dari bakat amatiran yang mereka asah setiap mandi di kali.


Mereka bermain-main sepuasnya tanpa melihat jam, hingga tak sadar jari-jari mereka mengerut akibat kedinginan. Bahkan, hampir semua dari mereka tak sengaja meminum air kolam, padahal sedang berpuasa.


Mereka benar-benar tak peduli soal itu. Yang penting mereka bahagia. Mereka senang dan mereka bisa tertawa bersama-sama. Gadis yang tadi dilarang pergi ibunya juga ikut bergembira. Dia benar-benar tak peduli apa kata ibunya nanti ketika tahu bajunya basah kuyup setelah diam-diam pergi renang bersama teman-temannya.


Saat hari sudah cukup siang, mereka pun memilih pulang dan kembali melewati jalan sepanjang 2 km dengan berjalan kaki. Dengan kondisi perut lapar, ditambah hari yang begitu terik bikin tenggorokan berontak kehausan. Meski begitu, mereka pantang mokel, karena takut dihukum pak ustadz dan tentunya takut masuk neraka. 


Sungguh, kealiman bocah-bocah itu sejatinya masih dipengaruhi iming-iming surga dan ketakutan akan neraka. Apapun itu, kepolosan mereka saat itu kini menjelma harta berharga yang sukar ditemukan lagi.


Setelah 17 tahun berlalu, apa kabar ya mereka sekarang? Kebahagiaan yang dulu sesederhana itu, sekarang bersembunyi di balik rentetan tuntutan hidup yang berebut minta perhatian. Semoga sehat selalu, baik jiwa maupun raga. Dan selamat berbuka di hari pertama puasa :)

Terima kasih sudah berkenan membaca✨


Mojokerto, Maret 2024






Komentar