Plagiarisme dan Alienasi Pendidikan


Sumber: Pexels
 
Bekerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia, akan tetapi membuat kita merasa kurang menjadi manusia dan kurang menjadi diri kita sendiri (Teori Alienasi Karl Marx)

Plagiarisme dalam dunia pendidikan belum juga menemui titik solusi. Terungkapnya sejumlah kasus plagiarisme di Indonesia ternyata tidak menampakkan adanya perlakuan revolutif untuk memberantasnya. Misalnya saja keterlibatan rektor Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta) dalam dugaan kasus plagiarisme beberapa bulan lalu. Pemberitaan tersebut hanya berhenti sebagai headline media massa tanpa adanya upaya reflektif untuk mencegah hal serupa.

Menanggapi plagiarisme, Menristek Dikti, M. Nasir menegaskan, plagiarisme adalah haram. Dalam talkshow bertajuk Indonesia Mencari Doktor yang digelar di Institut Teknologi Bandung pada Oktober lalu, M. Nasir juga mendorong generasi bangsa untuk terus berkarya dengan merujuk orisinalitas. (Detik.com)


Sistem Pendidikan Represif

Plagiarisme cenderung dipersoalkan pada masalah moralitas dan ketidakpahaman pelaku mengenai UU Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Lebih dari itu hanya meganggap faktor pendorong plagiasi adalah kemudahan teknologi copy paste di  internet. Tidak banyak yang menyadari dikotomi sistem pendidikan represif dapat memicu tingginya angka plagiarisme siswa dari tahun ke tahun.

Salah satu gambaran sistem pendidikan represif adalah tingginya standart kelulusan peserta didik. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) siswa pada sekolah menengah hampir setiap tahun dinaikkan oleh Kementerian Pendidikan. Dengan berdalih meningkatkan kompetensi, acapkali membuat birokrat lalai bahwa kemampuan akademik siswa tentu berbeda-beda.

Sebagai dampaknya, akselerasi terhadap pencapaian kompetensi belajar pun digalakkan. Para guru mengakali strategi pembelajaran dengan menempatkan peserta didik sebagai center of learning. Konsep inilah yang kemudian menjadi ciri pembelajaran dalam kurikulum 2013. Siswa-siswi dituntut aktif belajar secara mandiri, berdiskusi, dan mempraktekkan hasil pembelajaran secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Sama halnya dengan konsep pembelajaran di perguruan tinggi. Mahasiswa dituntut mampu menjelaskan materi di depan teman-temannya, sementara dosen bertindak sebagai evaluator. Penugasan karya tulis juga hampir ditemui di semua mata kuliah teoritis, baik pada program studi eksakta maupun sosial humaniora.

Praktis, mahasiswa bertipe pragmatis pun memilih plagiat demi merampungkan seluruh tugasnya. Karya tulis yang seharusnya melewati studi literatur secara mumpuni, kini melalui fasilitas copy paste dari internet dapat diselesaikan dalam waktu sekejab. Semuanya dilakukan demi akselerasi, mengingat masih banyak tanggungan penugasan lainnya.


Alienasi

Saya melihat, teori Karl Marx tentang alienasi manusia seperti dikutip di atas relevan jika  dikaitkan dengan fenomena plagiarisme saat ini. Karl Marx menganggap dalam sistem kapitalisme, orang-orang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa, sebagai syarat untuk bisa hidup. Jadi, pekerjaan tidak mengembangkan, melainkan mengasingkan manusia, baik dirinya sendiri maupun orang lain (Franz Magnis Suseno, 2005:95).

Mahasiswa tidak lagi beranggapan bahwa mengerjakan tugas perkuliahan membuat ilmu pengetahuannya bertambah. Ia memenuhi tugas bukan atas dasar kebutuhan, melainkan terpaksa guna memperoleh transkrip nilai. Sama halnya dengan kasus plagiasi yang dilakukan rektor Untirta. Demi memenuhi kepuasan, rektor Untirta mengalienasi diri dalam pekerjaan menulis. Menulis tidak lagi menjadi sarana berpikir dan berbagi aspirasi, melainkan jalan pintas mencapai eksistensi akademis.

Jika alienasi manusia menurut pandangan Karl Marx diakibatkan oleh sistem ekonomi kapitalisme, alienasi dalam kasus plagiarisme di dunia pendidikan berhubungan erat dengan sistem pendidikan represif seperti disebutkan di atas. Pendidikan yang cenderung mendewakan hasil akhir berpotensi besar mendorong seseorang melakukan plagiasi.

 

Diperlukan Revolusi

Memang tidak dapat disamakan seutuhnya antara fenomena alienasi pada kasus plagiarisme dengan alienasi manusia yang dibahas Karl Marx. Keduanya merupakan masalah pada tingkat dan jenis yang berbeda. Namun, mengambil langkah revolusi pada sistem pendidikan seperti halnya Karl Marx melakukan revolusi proletariat bukanlah cara yang salah untuk mengakhiri plagiarisme.

Dalam ilmu fisika dirumuskan bahwa akselerasi (a) = besarnya gaya (f) dibagi massa (m). Maka, akselerasi dalam proses pembelajaran akan semakin optimal jika besarnya gaya diperbesar, sementara beban massa diperkecil. Dalam hal ini, besar gaya mencakup penjelasan materi dari dosen serta pendalaman materi oleh mahasiswa. Sementara beban massa merepresentasikan beban tugas maupun standart kelulusan. Jika penjelasan materi dari dosen diperbesar, sementara beban penugasan diperkecil, akselerasi pendidikan pun akan lebih optimal.

Sebagai alternatif pencegahan plagiarisme, kecanggihan teknologi copy paste perlu dibarengi dengan penggunaan software pendeteksi plagiasi. Penggunaan software semacam ini efektif untuk mengetahui siapa saja pelaku plagiasi, sehingga dapat diproses lebih lanjut dengan aturan yang berlaku.

Mempertegas sanksi akademis bagi pelaku plagiarisme juga perlu diprioritaskan. Sebab, lemahnya lembaga hukum justru mengundang penyimpangan hukum berkeliaran. Sebagai dasar hukum, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 10 dan 11 telah mengatur sanksi bagi mahasiswa dan dosen yang terbukti melakukan plagiasi. Dasar hukum inilah yang dapat diaplikasikan untuk menghukum para pelaku plagiarisme di dunia pendidikan.

Akselerasi pendidikan memang penting. Namun, sistem pendidikan yang cenderung represif perlu direvitalisasi guna mencegah plagiasi. Sebab, plagiarisme adalah pembodohan. Jika hal ini terus dibiarkan, harus menunggu berapa banyak orang lagi yang akan menjadi korban pembodohan?


Bangkalan, 2014

*) Ditulis untuk Buletin Selebaran LPM Spirit Mahasiswa UTM Edisi 17 Maret 2014

Komentar