Penjajahan Pendidikan Masa Kini

Sumber: Pexels

 
“Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan, merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian” (Ki Hajar Dewantara)

Dahulu, pendidikan menjadi kekuatan bangsa Indonesia agar terbebas dari cengkraman kolonialisme. Pada saat itu, tidak meratanya akses pendidikan menyebabkan kesenjangan sosial bagi rakyat Indonesia.

Kaum bangsawan diberi kesempaan untuk bersekolah, sementara rakyat miskin malah dilarang untuk hal itu. Sehingga menimbulkan pembodohan bangsa berkepanjangan akibat saking banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia. Selama berabad-abad bangsa kita dijajah, diinjak-injak dan dibodohi dengan bermacam janji kemerdekaan.

Kemudian, Ki Hajar Dewatara merintis perguruan Taman Siswa yang membawa angin segar bagi para penduduk. Perguruan Taman Siswa tersebut menjadi fasilitas bagi bangsa Indonesia untuk menempa ilmu pengetahuan sebagai bekal melawan penjajahan dan pembodohan.

Rupanya kita terlena dengan sejarah termashurkan yang digagas Ki Hajar Dewantara. Sampai-sampai terjadi pingsan massal, tak menyadari bahwa pendidikan yang dulunya sebagai ujung tombak melawan penjajahan, sekarang malah sebaliknya. Masyarakat justru dijajah oleh pendidikan.

Bentuk penjajahan tersebut bukanlah praktek kerja rodi atau tanam paksa yang diwajibkan bagi penduduk. Sasaran penjajahan akibat sistem pendidikan masa kini jauh lebih luas dan kompleks.

Masyarakat miskin terjajah oleh mahalnya biaya pendidikan,  para guru terjajah oleh ruwetnya pengangkatan pegawai negeri dan sertifikasi. Para pelajar juga merasa dijajah oleh banyak, mulai dari banyaknya tugas, kebijakan Ujian Nasional (UN) yang menyusahkan, hingga proses seleksi masuk yang terkebiri sistem pencitraan sekolah.

Kini, pencitraan sekolah sekana menjadi kebutuhan. Sekolah favorit hanya menjaring siswa-siswi dengan IQ tinggi kecuali “wani bayar piro” (berani bayar dengan harga tinggi). Selain itu masih banyak problematika mutakhir lainnya, termasuk ketakutan munculnya seorang peodofilia di sekolah. Maraknya pemberitaan pelecehan seksual di sekolah membuat paranoid siswa memuncak, karena takut mengalami hal yang sama.

Mula-mula, ada persepsi keliru yang dibudayakan di negeri kita. Pendidikan dianggap suatu jembatan penghubung untuk menggapai profesi, mencari kekayaan, dan juga mengkoleksi rentetan gelar penghias nama untuk eksistensi diri.

Hal ini terbukti dengan ditemukannya peredaran ijazah palsu, wisuda illegal, hingga penonaktifan ratusan perguruan tinggi oleh Kemenristek (Kementerian Riset dan Teknologi) beberapa waktu terakhir.

Pendidikan bukan lagi sebagai penguasaan diri yang hakikatnya menjadikan manusia kian beradap dan humanis. Tak heran, oknum guru lebih mengutamakan konstruksi image sekolah daripada kebutuhan hakiki siswa akan ilmu pengetahuan. Siswa diarahkan agar menyumbang medali kejuaraan, prestasi akademik cumlaude, atau paling tidak melengkapi semua persyaratan administrasi sebelum ujian dilangsungkan.

Ajaran Ki Hajar Dewantara yang berisi semboyan ing ngarso suntolodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan) telah dilupakan.

Para guru masa kini justru lebih sibuk menyarankan siswa-siswinya agar aktif berorganisasi dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini tidak lain untuk untuk mengembangkan softskill dan pendidikan karakter siswa. Lalu, cukup begini sajakah tugas mulia sang pahlawan tanda jasa kita? Miris sekali.

Sistem pendidikan tidak selayaknya mengobjektifikasikan murid seakan mereka tak mempunyai hak untuk sekolah jika tak mempunyai uang atau modal kepandaian.

Pendidikan hadir untuk membebaskan manusia dari pembodohan. Ajaran Ki Hajar Dewantara di masa lalu adalah  teladan bagi sistem pendidikan kita. Tidak selayaknya jika sejarah tersebut hanya menjadi cerita masa lalu.

Kasus penyelewengan dana BOS, kebijakan-kebijakan mengenai UN dan seleksi masuk perguruan tinggi perlu kita kaji ulang untuk mencetak bangsa Indonesia yang bebas dari pembodohan.

Guru adalah pendidik yang berkewajiban membangun karakter siswa, bukan sekedar pengajar materi, pemberi tugas dan penulis catatan pencapaian kompetensi belajar siswa. Masalah-masalah yang dirasa menjajah, tentang ketakutan siswa, ketidakmampuan dalam biaya administrasi maupun dalam mengejar materi pelajaran perlu penyelesaian secara manusiawi sebagaimana hakikat pendidikan itu sendiri.

Diharapkan juga semua golongan masyarakat Indonesia dapat mengakses pendidikan secara merata. Kebijakan untuk melakukan ekspansi beasiswa adalah salah satu yang paling ditunggu dari kinerja pemerintah.

Di samping itu, toleransi dan semangat tinggi dari para siswa juga sangat penting untuk membebaskan diri dari pembodohan. Itu pun kalau kita memang benar-benar tidak ingin mengulang penjajahan berabad-abad lamanya.

Sebagaimana ungkapan Ki Hajar Dewantara di atas, bahwa manusia merdeka adalah tujuan pendidikan, merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian.


Bangkalan, 2014

*) Ditulis untuk Buletin Selebaran LPM Spirit Maahasiswa UTM Edisi 7 Mei 2014

Komentar