Pelarian Diri Sang Organisatoris
Sumber: Pexels |
Pada kenyataannya, melalui organisasi, mahasiswa seakan-akan kikir atau saking ambisiusnya sehingga ”sambil menyelam minum air”. Disamping kebutuhan sosial terpenuhi, kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri pun turut dikejar sampai terpuaskan.
Organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra, hampir tak terhitung jumlahnya. Namun, latar belakang berdirinya organisasi seakan tak sejalan dengan relevansi saat ini. Kebanyakan hanya melahirkan para organisatoris yang aktif berkontribusi jika tak sedang “galau”.
Penyakit ini pun yang seringkali menyerang
penulis dalam aktifitas organisasi. Memang tak ada yang salah, namun juga bukan
berarti kebenaran karena tak ada fatwa yang membatasinya. Berorganisasi adalah
salah satu kebutuhan sosial manusia yang menurut Abraham Maslow dalam teori
kebutuhan hierarkinya dapat dicapai setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman
terpenuhi. Selanjutnya, setelah kebutuhan sosial terpuaskan, manusia akan dapat
memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri.
Pada kenyataannya, melalui organisasi,
mahasiswa seakan-akan kikir atau saking ambisiusnya sehingga ”sambil menyelam
minum air”. Disamping kebutuhan sosial terpenuhi, kebutuhan penghargaan dan
aktualisasi diri pun turut dikejar sampai terpuaskan. Membawa embel-embel
kejayaan gerakan mahasiswa yang menggulingkan pemerintah Soeharto, seakanakan
ada nilai lebih bagi seorang mahasiswa yang juga seorang aktivis atau
organisatoris kampus. Apalagi saat ini banyak dikritik bahwa mahasiswa hanya
sekadar pelacur IPK dan pengejar jabatan menjanjikan, sehingga makin melambung
tinggi kepala sang organisatoris yang mengaku agent of change.
Organisasi menjadi semacam pelarian mahasiswa agar tak disebut mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) atau bahkan juga menjadi pelarian dari berbagai aktifitas pekuliahan yang menjemukan.
Diagung-agungkan dengan persepsi demikian,
nyatanya tidak dibarengi fakta sesungguhnya. Organisasi menjadi semacam
pelarian mahasiswa agar tak disebut mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) atau
bahkan juga menjadi pelarian dari berbagai aktifitas pekuliahan yang
menjemukan. Bagi sang organisatoris, akan ia temui berbagai pengalaman yang
lebih menarik minat dan bakatnya, adanya dispensasi kegiatan perkuliahan pada
saat kegiatan organisasi tertentu, dan juga keuntungan dalam hal pergaulan
sampai sosialisasi. Sesuatu yang sangat menguntungkan dibanding hanya berdiam
diri di dalam kos atau dibuat pusing oleh tugas-tugas kuliah yang belum
rampung.
Lalu, jika yang terjadi pada kebanyakan
organisasi adalah semakin waktu semakin lepas satu persatu anggota organisasi
tanpa alasan yang jelas, munculnya komunitas-komunitas yang mengatasnamakan
organisasi berkualitas namun tidak dengan kinerja yang jelas, dan juga tidak
adanya kontribusi anggota, selain hanya sebagai gaya-gayaan atau biar
mendapatkan sertifikat penghargaan untuk mengajukan beasiswa, apakah pantas
menyamaratakan sang organisatoris kita saat ini dengan yang pernah jaya pada
masa lalu?
Sebuah pertanyaan yang hanya bisa kita jawab
dengan mengubah cara berpikir kita masing-masing. Mengubah niat untuk apa kita
aktif berorganisasi, dan apa pentingnya kontribusi kita di dalamnya.
Bangkalan, 2014
*) Ditulis untuk Buletin Selebaran LPM Spirit Mahasiswa UTM Edisi 21 April 2014
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentarmu :)