Kembang Kertas Pendidikan
Sumber: Pexels |
“Ibarat kembang kertas; terlihat bagus dan indah bentuknya, tapi hancur luluh seketika tercebur dalam genangan air. Begitulah potret pendidikan di Indonesia saat ini: menghadirkan teori-teori di berbagai diskusi dan penelitian, tapi nihil implementasi dan relevansinya.”
Meski Indonesia
tergolong sebagai Bangsa Timur, namun dalam hal rujukan teori, tokoh-tokoh
intelektualnya justru berkiblat pada sarjana barat. Akibatnya, cara pandang
mahasiswa dikonstruksi oleh pemikiran Barat. Hal ini dapat dibuktikan dari
penelitianpenelitian sosial yang dihasilkan megadopsi metode dan teori-teori
barat. Dari sini akan timbul banyak pertanyaan: adakah relevansi teori Barat
dengan fenomena yang terjadi di Indonesia? Sedangkan kita ketahui bersama bila
tujuan dari penelitian sosial adalah untuk memetakan dan memberikan solusi atas
permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Selain itu, tidak
banyak mahasiswa atau dosen tidak memahami bila lahirnya teori Barat tersebut
berangkat dari kondisi sosial, ekonomi, historis, dan budaya yang berbeda dari
masyarakat di Indonesia. Sehingga pada tahap implementasi teori Barat kerap
berbeda sama sekali dengan yang ada di Indonesia.
Seperti contoh, jika
Karl Marx mengatakan dikotomi kelas borjuis dan proletar akibat merebaknya
kapitalisme ketika terjadinya revolusi industri di Perancis, dapatkah kita
menerapkan kajian yang sama terhadap kesenjangan sosial yang terjadi di
Indonesia? Mungkin, kita bisa merenungkan sejenak: mengapa penelitian di
Indonesia jarang dijadikan legitimasi dalam mengatasi masalahmasalah sosial
masyarakat?
Saya melihat,
masyarakat Indonesia mengalami gejala inverioritas yang akut pada hasil kajian
dan olah pikir orang Indonesia. Sehingga pada praktiknya, intelektual kita
terlihat sangat mengagung-agungkan teori Barat. Teori ditempatkan pada sebuah
peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia, sehingga ketika mendeskripsikan
sesuatu tanpa mengutip landasan teori para sarjana Barat seakan-akan tidak sah
dan kurang pas. Sehingga tanpa disadari, rasa inverioritas mahasiswa dan tenaga
pengajarnya membuat hasil-hasil penelitian sosial kerap tidak relevan dalam
kehidupan masyarakat.
Kembang Kertas
Meminjam istilah
salah seorang guruteori diumpamakan sebagai kembang kertas. Ia terlihat
menawan, mirip dengan kembang sesungguhnya. Namun, ketika tercebur ke dalam
air, ia akan hancur. Dalam hal ini, teori dianggap sebagai penghias yang sedap
dalam kajian ilmu pengetahuan. Dan keberadaannya bukan sekadar pelengkap syarat
sebuah laporan penelitian, akan tetapi esensi sesungguhnya adalah perannya yang
diharapkan mampu untuk diimplementasikan di kehidupan nyata. Tapi sayang, teori
hanyalah kembang kertas; penghias tulisan untuk menarik hati pembacanya. Di
kehidupan nyata, ia tak berarti apa-apa, selain sebagai referensi untuk
menyelesaikan tugas kuliah.
Alhasil, beribu-ribu
teori diciptakan manusia, pada akhirnya hanya berhenti ke dalam teks landasan
teori penelitian. Gejala ini menunjukkan proses adopsi nilai-nilai Barat yang
masih prematur ke dalam tubuh pendidikan Indonesia. Dan efeknya tentu sangat
kontras terhadap hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang semula bertujuan mencerdaskan masyarakat, kini hanya sebagai alat untuk
meniti karir dan cita-cita. Mahasiswa tidak lagi berpikir tentang “apa yang
akan saya berikan untuk mengembangkan masyarakat?”, akan tetapi “pekerjaan apa
yang cocok untuk mengembangkan bidang studi saya nanti?"
Selama bertahun-tahun
para siswa menempuh pendidikan di bangku sekolah, hanya dilatih untuk menjadi
sosok individualis dan liberalis. Mereka tak ubahnya sebagai individu yang
memisahkan diri dari segerumbulan masyarakat yang lain. Sehingga muncul tembok
yang menjulang tinggi antara masyarakat biasa dengan kaum akademisi. Dan
pendidikan di Indonesia hari ini membuat kaum akademisi tercerabut dari akar
kebudayaannya. Masyarakat tidak lagi leluasa untuk meminta sumbangsih ideologis
dari para kaum akademisi, sebab ada 'keengganan' komunikasi diantara keduanya.
Selain itu, masalah yang paling mendasar adalah ketidaksesuaian antara teori
dengan praktik kehidupan yang ada di masyarakat.
Bercermin pada Pendidikan Pondok
Untungnya, kekeliruan
epistimologi pendidikan di Indonesia hanya terjadi di beberapa institusi
pendidikan. Sedangkan beberapa institusi lainnya memperlihatkan tradisi
pendidikan yang apik dalam catatan sejarah. Salah satu cermin pendidikan
berbasis 'back to society' telah lama diterapkan di pondok pesantren,
padepokan, dll. Di dalam sistem yang dijalankan oleh lembaga tersebut secara
nyata melahirkan para lulusan yang 'tahu' apa dan untuk apa tanggung jawab
mereka bagi masyarakat di lingkungannya.
Dalam pendidikan
pondok, nilai-nilai kultural dan spiritual adalah kembang-kembang yang secara
nyata berasal dari alam. Ia bukan lagi terbuat dari kertas yang mudah hancur,
akan tetapi berasal dari hakikat manusia yang berhati nurani. Karena segala
kebijaksanaan dan hasil olah pikir yang masuk dalam kurikulum pesantren tidak
lepas dari hasil perenungan dan interaksi dengan masyarakat dalam kurun waktu
yang lama. Sehingga, melalui petuah-petuah yang disampaikan sang guru,
nilai-nilai sosial kemanusiaan akan merasuk ke dalam alam bawah sadar para
santri.
Bukanlah dakwaan yang
berlebihan jika pada realitasnya terdapat keunggulan lebih di dalam sistem
pendidikan pondok dibandingkan sekolah-sekolah formal. Pendidikan pondok yang
berakar dari budaya masyarakat Indonesia diyakini telah membawa pengaruh dan
manfaat yang banyak bagi masyarakat sekitar pondok. Bahkan, banyak diantara
pondok pesantren yang terkenal, justru dikenal dengan sebutan nama daerah
tempat pondok tersebut berada, dan bukan bukan nama pondok itu sendiri.
Sampai saat ini,
mayoritas lembaga pendidikan di Indonesia masih setia dengan sistem pendidikan
Barat. Sebuah sistem yang setiap tahunnya mencetak lembaran-lembaran penelitian
untuk melengkapi syarat pengukuhan gelar sarjana. Di sisi lain, tidak sedikit pondok
pesantren yang melakukan aktivitas pendidikan untuk mengembagkan masyarakat
sekitarnya.
Menyikapi pendidikan
di Indonesia yang notabene market oriented, maka yang perlu dilakukan adalah
mengkaji relevansi penggunaan teori Barat dalam sistem pendidikan kita agar
sistem pendidikan kita tidak menjadi kembang kertas yang hanya bagus bentuknya,
tetapi tidak aplikatif. Selain itu, yang tak kalah penting adalah kembali
melakukan kajian kurikulum pendidikan kita agar tidak hanya berdasarkan
kebutuhan industri saja, tapi juga berguna bagi masyarakat.
Bangkalan,
2014
*) Ditulis untuk Buletin Selebaran LPM Spirit Mahasiswa UTM Edisi 22 September 2014
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentarmu :)