Gerbang Marjinal di Kota Pahlawan

Sumber: Qureta

Gerbang-gerbang kulewati tanpa berhasil membebaskan pelik kehidupan orang-orang di dalamnya. Stasiun kereta api, terminal bus, pelabuhan kapal, dan bandar udara. Siapa yang peduli dengan gerbang-gerbang itu selain menganggapnya sebagai bagian dari perjalanan?

Manusia abad ini  telah menjelma sebagai turis gila kamera foto. Kita lebih tertarik mengabadikan foto untuk diunggah ke media sosial daripada menengok ke luar jendela dan mendalami sisi lain kehidupan orang-orang di sekitar gerbang. Saya ingin mengajak Anda mengelilingi gerbang-gerbang di sekitar Surabaya, dan memahami setitik kehidupan orang-orang marjinal di dalamnya.


Terminal Purabaya, Surabaya

Perjalanan pertama dimulai dari Terminal Purabaya. Tujuan saya adalah bus kota menuju Pelabuhan Perak. Kulihat orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa. Sudah menjadi rahasia umum kalau terminal terbesar di Jawa Timur ini menjadi ladang kriminalitas.

Kasus gendam, perampokan, konflik antar-pengamen, hingga penipuan oleh para calo illegal sering terjadi di sini. Namun, ada pemandangan lain yang membuat hatiku miris. Para pengamen cilik di terminal ini, bagaimana cara mereka bertahan hidup tanpa diintimidasi para pengamen dewasa di sekitarnya.

Aku pernah menyaksikan tiga bocah pengamen dimarahi habis-habisan oleh bapak-bapak yang juga seorang pengamen. Bapak itu  marah-marah di dalam bus dan menjadi perhatian orang-orang seisi bus. “Kalian ini mematikan rejeki orang lain. Kalau mau main-main jangan disini,” hardiknya dengan kasar.

Ketiga bocah itu hanya diam. Wajah mereka pucat pasi dan tak mampu melawan. Mereka pun turun di sebuah halte dan tidak memedulikan bapak pengamen yang kini mengambil alih wilayah kerjanya.

Para pengamen cilik itu, bagaimana kabar mereka sekarang? Aku ingat, mereka sering menyanyikan lagu-lagu dangdut koplo dengan lirik yang begitu dewasa—kata-kata seperti “kimcil”, “aku cinta kamu”, “buka titik jos” mereka menyanyikannya tanpa mengerti apa maksud lagu itu.

Yang penting bagi mereka adalah recehan dari para penumpang. Bagaimana nasib pendidikan mereka, masa kanak-kanak mereka yang harusnya dihabiskan untuk bermain dan bersenang-senang? Ah, saya hanya mampu mendo’akan: semoga mereka selalu dalam lindungan-Nya.


Pelabuhan Kamal, Madura

Dari Pelabuhan Perak, saya naik kapal feri menuju Pelabuhan Kamal, Madura. Suasana pelabuhan ini termasuk sepi, terutama setelah dibangunnya Jembatan Suramadu tahun 2008 silam. Namun, sejumlah orang masih menggantungkan hidupnya pada pelabuhan ini—para pedagang, sopir, tukang becak, tukang parkir, dsb. Bagi mereka, kedatangan para penumpang kapal adalah rezeki.

Di dalam kapal, para perempuan Madura menawarkan nasi, gorengan, dan jajanan pasar lainnya. Ada juga para penjual kopi yang menawarkan kopi panas di siang yang terik. Lalu, sejumlah anak berusia hampir pubertas menawarkan jasa semir sepatu, meskipun di kapal itu tak banyak yang bersepatu.

Ketika kapal telah sampai di dermaga Pelabuhan Kamal, perjuangan mereka belumlah usai. Mereka kembali menyeberang ke Surabaya—berdagang lagi, menawarkan jajanan atau kopi-kopi yang panas lagi, dan menyemir sepatu yang jarang ditemui. Begitu seterusnya sampai kapal berhenti beroperasi pukul sepuluh malam.

Sesampainya di halaman Pelabuhan Kamal, ada pemandangan lain yang membuat saya miris. Para pengemis cilik. Mereka bertelanjang kaki sambil menengadahkan tangan kecilnya ke hadapan para penumpang yang baru turun dari kapal. Mereka memasang muka memelas dibalik wajah kusam dan pakaian dekilnya. Tak jarang, mereka berkata-kata kasar dan menarik paksa tangan atau baju orang-orang yang enggan memberinya uang.

Selidik punya selidik, para pengemis cilik itu dipekerjakan oleh orangtua mereka sendiri. Mereka datang dari pulau kecil nun jauh di Kabupaten Sampang, dan menyewa sebuah kamar kos dekat Pelabuhan Kamal.

Beberapa orangtua dari anak-anak itu menjadi pemulung sambil mengamati anak-anaknya mengemis dari kejauhan. Namun, ada pula yang hanya duduk manis lalu menyuruh anak-anaknya mengemis. Kadang, mereka tak segan-segan memukul anak-anak malang itu jika uang yang didapat mereka sedikit.

Sampai kapan penderitaan anak-anak itu berakhir? Semoga Tuhan melindungi mereka. Lagi-lagi hanya itu yang mampu kuucapkan.


Stasiun Wonokromo, Surabaya

Gerbang ketiga kulewati dalam suatu perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya. Stasiun Wonokromo, Surabaya. Suasana siang hari di stasiun ini tak jauh berbeda dengan stasiun pemberhentian kereta api lainnya. Namun, kehidupan malamnya agak lain.

Situasinya berubah mencekam dan menawarkan gemerlap malam bagi rakyat bawahan. Di sanalah dijalankah sebuah bisnis prostitusi bawah tanah. Para pelanggannya adalah lelaki hidung belang, para pemuda yang sedang frustasi, dan beberapa pria haus berahi yang hanya memiliki sedikit uang.

Tak seperti lokalisasi umumnya yang menawarkan wisma-wisma besar nan rapi sebagai tempat menumpahkan asmara. Para wanita tunasusila di lokalisasi Wonokromo hanya menawarkan sepetak kamar kecil di samping rel-rel kereta api, dan beberapa hanya berbahan triplek atau tenda kain. Tarif satu malamnya juga tak seberapa, tak sampai seratus ribu untuk sekali main.

Namun, kupu-kupu malam di lokalisasi Wonokromo tak pernah hidup tenang. Mereka sering dihantui razia petugas kepolisian yang tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan.

Mereka juga harus pintar-pintar membagi uang hasil pekerjaannya yang tak seberapa itu untuk diserahkan pada mucikari, membeli baju-baju dan alat kosmetik sebagai modal penampilannya, sejumlah pajak tak resmi pada petugas keamanan disana, serta menabungnya untuk diberikan pada keluarga di kampung halaman. Sisanya, barulah mereka gunakan untuk biaya hidup sehari-hari.

Para pelacur ini juga berjibaku dengan hukum sosial yang berlaku—soal citra mereka yang buruk, dibenci, dipandang sinis oleh masyarakat, dan sering dikambinghitamkan dalam segala situasi. Dalam hati mereka mengiba, “Sebejat-bejatnya kami, kami tak pernah bercita-cita menjadi begini.” 

Bahkan, yang membuatku salut, mereka senantiasa menasehati remaja-remaja perempuan di sekitar stasiun agar tak berlama-lama disana. Para pelacur itu berpesan, “Pergilah, belajarlah yang rajin, jangan menjadi sepertiku.”

Aku malu mendengarnya. Mereka yang selama ini kuanggap sebelah mata, nyatanya memiliki hati sebening berlian kepada sesamanya. Jika kurenungkan, keberadaan mereka yang dianggap buruk oleh masyarakat justru membawa keuntungan bagi orang-orang lain sepertiku.

Yang dianggap buruk hanya mereka. Yang dianggap nakal dan jalang hanya mereka. Sedangkan perempuan sepertiku yang tidak terjun ke dalam dunia itu, tentu terbebas dari sebutan tersebut. Sebab, ada dikotomi kekal dalam hidup: ada baik, ada buruk.

Padahal, hidup tak sesederhana itu. Adanya pelacur dan lokalisasi bak toilet bagi lelaki haus berahi. Kalau tak ada lokalisasi, para lelaki ini akan membuang kencingnya (berahi) sembarangan—dan pada akhirnya, penyebaran penyakit kelamin akan semakin sulit dikendalikan.

Begitulah perjalananku melewati tiga gerbang marjinal di sekitar kota pahlawan. Semoga perjalanan di lain kesempatan mengajarkan kita lebih memanusiakan manusia: melihat mereka lebih dekat, mendengar rintihannya lebih lekat, dan berusaha merasa, memahami, serta mengulurkan tangan untuk mengurangi bebannya. Semoga!


Bangkalan, 2016

*) Dimuat di Qureta.com, 30 September 2016

Komentar