Gejala Sastra-Phobia
Sumber: Pexels |
Bagaimana pun tinggi studi dan lektur seseorang, tanpa sastra atau seni, orang itu masih belum beradab (RA. Kartini)
Teman saya mengeluh. Katanya, ia mulai trauma dengan sastra. Kebiasaannya mengepos kalimat-kalimat puitis di media sosial membuatnya dicap melankolis. Beberapa teman menyebutnya baper (bawa perasaan); sentimen; dan terlalu mendramatisir kehidupan. Kini, teman saya enggan menuliskan imajinasinya dalam bentuk puisi. Takut diledek, katanya.
Anggapan bahwa sastra adalah produk kamar agaknya
belum juga menghilang. Sastra hanya dianggap luapan emosi penulisnya; sebuah
ratapan kesedihan ataupun protes kemarahan. Bisa jadi, anak muda pragmatis masa
kini telah menganugrahi para penulis sastra dengan sebutan orang paling ‘baper’
sedunia—persis dengan pengalaman teman saya di atas. Praktis, peminat sastra
masih jauh di bawah karya pop yang beredar.
Sastra Hari Ini
Rendahnya angka peminat sastra ini memang tidak selamanya
menentukan kualitas karya yang dihasilkan. Kalaupun peminat sastra bejibun, hal
itu tidak lantas menjadi kabar baik bagi dunia sastra—sebab kualitas sebuah
karya tentu lebih bernilai dibanding kuantitasnya. Akan tetapi, salah satu poin
penting dalam perbincangan sastra ialah soal apresiasi—dan secara tidak
langsung mempertanyakan seberapa banyak peminat sastra dewasa ini.
Sepintas, kita bisa saja bersikap cuek ketika karya kita tidak mendapat perhatian khalayak. Toh, penciptaan sebuah karya sastra tidak ditujukan untuk mengumpulkan massa ataupun menyenangkan semua orang.
Apresiasi sastra menjadi hal vital karena menyangkut internalisasi nilai-nilai budaya sebagaimana ungkapan RA. Kartini: Bahwa sastra juga memiliki kedudukan penting dalam menentukan keadaban seseorang. Ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Butuh nilai-nilai kearifan yang bisa didapat dengan mempelajari sastra.
Sastra-Phobia
Menurut
KBBI, phobia adalah ketakutan
berlebih tehadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan
penderitanya. Sastra-phobia dapat dimaknai sebagai keadaan dimana seseorang
takut terhadap sastra. Definisi ini akan lebih fleksibel jika gejala
sastra-phobia dapat diamati, misalnya dari perilaku tidak tertarik; menganggap
remeh; dan tidak suka terhadap sastra—baik dalam bentuk karya, ulasan, maupun
perbincangan.
Penyebab sastra-phobia beragam. Mulai dari persoalan remeh temeh seperti kasus teman saya di atas, yakni khawatir disebut baper, hingga mencari-cari alasan dengan mengaku sastra bukanlah minat bakatnya.
Sekali lagi, semua orang memang tidak diharuskan
meminati sastra. Namun, yang perlu dipahami adalah bagaimana peran sastra dalam
kehidupan manusia. Sekalipun terdengar begitu utopis, sejarah telah menorehkan
catatan membanggakan tentang peran sastra bagi kehidupan sosial.
Kembali pada pengalaman teman saya dan sastra. Kita
dapat melihat keresahan teman saya bermula ketika puisi miliknya dinilai
terlalu mendramatisir. Dia merasa malu. Apalagi dia seorang anak lelaki—yang
dikonstruksikan oleh masyarakat kita hendaknya bisa berpikir logis daripada
membawa perasaan.
Persoalannya bukanlah
sikap rendah diri teman saya sehingga ia enggan menulis, melainkan serendah
itukah penghargaan untuk sebuah karya sastra—hanya
dianggap bualan kata atau luapan emosi?
Kekeliruan
Salah satu kekeliruan dalam pembelajaran sastra ialah mengharuskan penggunaan bahasa estetis dalam penulisan sastra. Anggapan umum yang beredar, puisi tak akan manis jika tidak memasukkan diksi, metafora, dan berbagai bahasa eufimistis lainnya yang sukar dipahami. Cara pembelajaran khas mata pelajaran Bahasa Indonesia ini pada akhirnya membuat penulisan karya sastra lebih dititikberatkan pada penguasaan bahasa, sementara proses meramu nilai-nilai kearifan menjadi dikesampingkan.
Tentu tidak mengherankan jika kemudian berkembang
stereotip bahwa sastra cenderung melankolis, mendramatisir, dan mendayu-dayu.
Lalu, siapa yang sebenarnya keliru—teman saya yang terlalu mendayu-dayu dalam menulis puisi atau pembaca puisi
tersebut yang menganggap teman saya terlalu
baper?
Kita tahu menulis puisi hanya dengan bahasa
mendayu-dayu saja tidak cukup sebagai ciri sastra. Kalimat puitis penuh
permainan majas juga belum tentu sastra. Sastra menjadi penutur keadaban bukan
karena bahasanya yang berbunga-bunga. Ada kontemplasi. Ada perjalanan. Ada
pergulatan batin. Ada logika. Ada pesan moral. Ada kearifan. Ada sejarah. Ada
pengetahuan. Dan masih banyak lagi. Sayangnya, hal yang justru menjadi ruh bagi
sastra ini sering dilupakan.
Sedikit-Sedikit 'Baper'
Kekeliruan lainnya adalah tulisan ini sendiri. Adalah
hal yang terburu-buru untuk memunculkan frasa sastra-phobia. Jika yang
sebenarnya terjadi adalah pergeseran pemaknaan terhadap proses kreatif
penciptaan sastra, bagaimana mungkin mendiagnosa seseorang dengan sebutan
sastra-pbobic? Kecenderungan karya berbau melankolis itu sendiri yang membuat
khalayak memicingkan mata terhadap perkembangan sastra. Bukan karena phobia.
Bagaimana mungkin
seseorang akan dianggap phobia terhadap sastra hanya karena menyebut para
pegiatnya terlalu mendramatisir kehidupan? Dalam hal ini kita perlu belajar
banyak terhadap peran sastra di masa lalu. Pesan RA. Kartini di atas patut kita
camkan baik-baik: Melalui sastra kita dapat belajar menjadi manusia beradab.
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentarmu :)