Gara-Gara Sosmed, Mengapa Kita Malah Terasing?
Sumber: Pexels |
Gara-gara sosmed, kita layaknya pepatah “Gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi semut di seberang lautan tampak.” Kehidupan nyata di hadapan kita seolah kabur, karena perhatian kita lebih tergiur pada warna-warni dunia maya.
Sadar nggak sih, kalau kita sering menggadaikan dunia nyata demi kebahagiaan maya? Salah satu contohnya saat kita bermain sosmed. Segalanya kita curahkan, tapi kita selalu menolak disebut kesepian. Segala momen kita posting, tapi kita selalu menolak jika disebut tukang pamer. Segalanya kita bagikan tanpa filter, tapi kita selalu berdalih hanya ingin mengabadikan momen spesial biar kenangnnya tak lekang virus komputer.
Memangnya, sebegitu pentingnya
kah kehidupan kita, sehingga semua orang harus tahu? Iya kalau kita ini
presiden atau selebriti papan atas yang berita (gosip)-nya selalu dinanti
netijen dan Lambe Turah? Lha kamu dan aku (yang cuma remahan rempeyek ini)
ngapain update status lebih dari 3x sehari? Kayak minum obat diare aja!
Karena disebut remahan rempeyek,
jiwa-jiwa alumni kelas motivasimu pun berontak, “Biarkan saja sekarang aku
bukan siapa-siapa. Tapi tunggu 1, 2, 3, atau 50 tahun lagi, kita pasti jadi
orang sukses.”
Lihatlah Awkarin atau Atta Halilintar.
Dulu mereka bukan siapa-siapa. Tapi berkat aktif nyetatus di sosmed dan bikin
vlog keseharian mereka (yang dulu bukan siapa-siapa), akhirnya mereka bisa jadi
influencer dan banjir endorse. Siapa yang nggak tergiur?
Pantas saja kids jaman now pada kepingin jadi influencer
atau youtuber. Biar kalau sudah waktunya kuliah, mereka bisa dapat
beasiswa dari UPN Veteran Jakarta. Nah loh, yang begini ini nih yang sering
disalahpahami~
Lupa Caranya Berdo'a
Gara-gara sosmed, kita jadi lupa
caranya berdoa’a pada Tuhan. Malah, sekarang kita lebih khusyuk berdo’a kepada follower
kita yang nggak sampai 10k. Coba ingat-ingat, saat kita sakit atau diliputi
masalah yang membuat kita sedih, stress, dan tertekan; kita pasti lebih gercep
berdoa lewat status Facebook, Twitter, atau Instastory. Meski Tuhan ada
dimana-mana, apa iya Tuhan juga bermain sosmed lalu tiba-tiba komen di
statusmu, “Sabarlah wahai hambaku,” Kan kamu bisa viral jadinya!
Gara-gara sosmed, status kita
sebagai manusia bebas telah berubah menjadi budak kamera denga segala
filternya. Buktinya, saat travelling ke suatu tempat, kita lebih sibuk
dengan kamera dan berbagai filternya; ketimbang menikmati keindahan tempat itu
dan bercericau bebas dengan penduduk lokal/ teman seperjalanan.
Bukti selanjutnya, saat
menggelar pertemuan, seperti buber/ reunian, kita justru asyik dengan HP
masing-masing. Yang punya pacar asyik chatting sama selingkuhan
(eh, sama pacar maksudnya). Yang jomblo asyik melototi notif grup WA keluarga
yang isinya berita hoaks. Benar-benar tak ada saling tukar cerita secara
mendalam, karena update story lInstagram lebih diutamakan. Di suasana
yang begitu asing itu, lalu kita sering memposting-nya dengan caption
“indahnya kebersamaan”. Hello, dimana letak ‘kebersamaan’ yang
kau maksud wahai kids hype kekinian??
Parahnya, saat berjumpa teman
lama, kita lebih mendahulukan untuk meminta foto dan menanyakan apa nama
sosmednya, bisar kita bisa tag dengan caption “long time
no see”. Padahal, pada saat itu kita lupa menanyakan bagaimana kabar dan
kehidupannya saat ini. Memang kebangetan penyakit lupa jaman ini.
Kabur
Gara-gara sosmed, kita layaknya
pepatah “Gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi semut di seberang lautan
tampak.” Kehidupan nyata di hadapan kita seolah kabur, karena perhatian kita
lebih tergiur pada warna-warni dunia maya. Segala pemberitaan selebriti kita
perbarui, tapi kabar kesehatan saudara dan keluarga tak pernah kita ketahui.
Momen kebersamaan di kehidupan nyata tak benar-benar kita nikmati, tapi
likes dan komentar dari teman-teman sosmed selalu dinanti.
Kalau saya tak salah mengutip,
benar kata Mc. Luhan dulu. Bahwa kehadiran teknologi 2.0 layaknya sosmed telah
membuat kita lupa memaknai arti komunikasi sesungguhnya. Kata Mc. Luhan, medium
is the message. Teknologi komunikasi bukan lagi sebagai alat penghantar
pesan, tapi menjadi pesan itu sendiri.
Sekarang, makna suatu pesan tak
lagi penting, karena kehadiran teknologi itulah yang lebih penting. Seperti
deretan status galaumu di timeline, foto-foto selfie yang kau
unggah dengan berbagai filter, atau vlog “hi guys-mu” yang meniru sang
junjungan Ricis dan Atta Halilintar. Semua konten itu tak lagi penting, karena
yang penting bagi khalayak persosmedan saat ini adalah, “yang penting update
(yang penting pakai teknologi)”
Semoga setelah ini, kita bisa
menemukan kebahagian sejati dari sosmed atau pun tanpa tanpa sosmed~
Surabaya, 2019
*) Dimuat di Mojok.co (17 Juni 2019)
Bagikan Tulisan Ini ke:
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentarmu :)