Feminisme dalam Lingkaran Tanda Tanya
Sumber: Pexels |
Stigma yang dianut oleh masyarakat pra perjuangan Kartini hanya menempatkan perempuan di ranah domestik
Gerakan feminisme di Indonesia pertama kali digaungkan pada masa R.A Kartini memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dan melawan dominasi laki-laki. Akibat dari perjuangan Kartini, berbagai gerakan perempuan mulai bermunculan. Selain itu, gerakan perempuan pada masa Kartini mampu mengilhami gerakan perempuan pada masa kini. Sehingga perempuan masa kini mampu sejajar sebagaimana pria untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, memperoleh hak pilih, melakoni peran sosialnya, termasuk bekerja, berpolitik, hingga terjun sebagai pemimpin di atas lakilaki.
Stigma yang
dianut oleh masyarakat pra perjuangan Kartini hanya menempatkan perempuan di
ranah domestik, diantaranya: sebagai ibu rumah tangga yang melayani dan
mengurusi keluarga, digantikan oleh perempuan yang mandiri dan tidak bergantung
pada pria.
Tentu
fenomena tersebut menimbulkan prokontra yang tiada habisnya. Wanita karir yang
seringkali dianggap tidak maksimal dalam menangani urusan keluarga, misalnya
dalam kewajibannya mendidik anak, menjadi dasar utama dari lahirnya gerakan
feminisme. Dimana tujuan utamanya adalah berupaya untuk menggali potensinya
dalam bekerja dan melakukan pembuktian atau eksistensinya di mata pria.
Namun realita
yang terjadi hari ini tidak seperti yang dicita-citakan gerakan feminisme.
Karena masih banyak diantara kaum perempuan dari kalangan menengah ke bawah
belum menempuh pendidikan layak, apalagi untuk memahami apa itu feminisme.
Sampai saat ini mereka tetap terpuruk melawan budaya patriarki. Tak terhitung
lagi jumlah kasus pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga yang
dilakukan laki-laki terhadap perempuan dengan memanfaatkan kelemahan perempuan
dari segi fisik dan psikis.
Dua fenomena tersebut menunjukkan bahwa feminisme di Indonesia bagaikan dua mata pisau yang berlainan. Pada satu sisi, kaum feminis bergulat dengan dampak positif-negatif yang menjadi konsekwensi logis dari kesetaraan hak. Di sisi lain perempuan di luar gerakan feminis terjebak dalam keterbatasan dan kehilangan kesempatan untuk maju sebagaimana pria.
Sudah saatnya mengkaji ulang relevansi gerakan feminisme di Indonesia yang terbentur nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kebanyakan dan persoalan kelas-kelas sosial yang mendikotomikan perempuan dalam kelas-kelas sosial.
Maka, sudah
saatnya mengkaji ulang relevansi gerakan feminisme di Indonesia yang terbentur
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kebanyakan dan persoalan kelas-kelas
sosial yang mendikotomikan perempuan dalam kelas-kelas sosial. Sejalan dengan
tujuan tersebut, mengkaji ulang feminisme di Indonesia perlu diawali dari epistimologinya.
Jika feminisme yang akan diterapkan berkiblat pada konsepsi yang diterapkan
sarjana Barat, maka akan melenceng jauh dari nilai yang dianut oleh masyarakat.
Selain itu, konsekuensi lainnya adalah tercerabutnya perempuan Indonesia dari
akar kebudayaan.
Sementara
yang perlu dilakukan para feminis sekarang adalah memperjuangkan hak-hak
saudara sesama perempuan Indonesia yang belum meraba feminisme. Selain melalui
lobi-lobi sosialisasi, motivasi, dan pemberantasan patriarki secara langsung,
tapi juga secara aktif menyampaikan masukan-masukan terhadap pemerintah agar
bersama-sama mengakhiri patriarki dan kesenjangan sosial. Disamping itu, dari
masing-masing individu agar secara bijak memelihara hak-hak yang dimilikinya,
serta tidak menuntut hak-hak diluar nilainilai pancasila.
Secara
perlahan, dua mata pisau yang menimbulkan lingkaran tanda tanya di atas akan
menghilang. Dan sebaliknya, jika tanda tanya tersebut dibiarkan berlarut-larut
tanpa jawaban pasti, maka yang pasti adalah lenyapnya feminisme di Indonesia,
dan tinggal anggapan-anggapan negatif yang menyertainya.
Bangkalan, 2014
*) Ditulis untuk Buletin Selebaran LPM Spirit Mahasiswa UTM Edisi 25 Februari 2014
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentarmu :)