Dongeng Anak Miskin

Sumber: Pexels



Sejak pertemuanku dengan seorang gadis cilik kelas 1 SD di Jember, aku merasa dunia semakin aneh setelah munculnya tayangan TV berbau kehidupan kaum marginal. Waktu itu, aku bersama dua teman sedang hunting foto jurnalistik di Jember. Aku melihat gadis cilik itu di sebuah SD. Wajahnya yang nelangsa—berbeda sekali dengan anak SD kebanyakan membuatku tertarik untuk memotretnya.

Gadis kelas 1 SD itu duduk termenung di sebuah teras mushola. Beberapa orangtua murid nampak di sebelahnya. Tapi aku tahu, diantara mereka bukanlah bapak atau ibu anak itu. Aku pun bertanya apa yang sedang ia lakukan. Katanya, ia sedang menunggu dua kakaknya yang duduk di kelas 4, dan masih pulang pukul dua siang.

Awalnya aku hanya bertanya kok nggak dijemput? Orangtua bekerja dimana? Sampai akhirnya, ia bercerita panjang lebar tentang kehidupan yang memprihatinkan. Kata anak  itu, ia bercita-cita menjadi guru Bahasa Inggris, karena ibunya dulu seorang guru Bahasa Inggris. Namun, ibunya kini bekerja sebagai buruh cuci di sebuah hotel di Jember, akibat sakit tipus yang pernah dideritanya.

Ibunya bekerja dari siang hingga larut malam. Seringkali ia dan kakaknya berada di rumah sendirian. Sebab, bapaknya telah lama bekerja di Bali menjadi tukang cuci mobil. Ketika ia mengeluarkan kartu SPP dari dalam tasnya, kulihat sudah tiga bulan ini ia belum membayar. Katanya, orangtuanya punya banyak hutang untuk berobat ibunya dulu, sehingga ia pun terpaksa hidup dalam keterbatasan. Bahkan setiap harinya ia hanya diberi uang saku lima ratus perak. Bayangkan, lima ratus perak per hari! Tapi ia janji tidak akan mengeluh, sebab ia masih bisa bersekolah.

Hiks.. hiks... kau terharu bukan? Iya, aku juga. Bahkan salah satu temanku menangis karena cerita gadis itu. Tapi tunggu dulu, hidupnya tak seperti yang ia ceritakan. Setelah beberapa jam kami menemaninya di teras mushola, dua kakaknya pun keluar dari ruang kelas. Mimik gadis cilik itu berubah seketika kedua kakanya datang. Wajah nelangsa yang ia nampakkan sedari tadi berubah menjadi riang dan gembira.

Dan ternyata....

Kedua kakak gadis itu justru mengatakan: uang sakunya tidak lima ratus perak per hari, tapi dua puluh ribu per minggu. Ia juga tidak ditinggal bapaknya ke Bali. Bapaknya justru bekerja sebagai tukang cuci mobil di Jember, dan setiap hari pulang. Ibunya memang bekerja sebagai buruh cuci di hotel, tapi beliau bekerja dari pagi hingga sore, bukan sampai larut malam. Dan bahkan ibunya pun tak pernah sakit tipus. Beliau juga tak pernah menjadi guru Bahasa Inggris.

Tapi, anak itu bilang.....

Bisa-bisanya bocah cilik seperti itu mengarang cerita sedemikian rupa? Apa yang ada di fikirannya? Mungkinkah karena kami memegang kamera, ia mengira kalau kami adalah orang TV yang ingin menayangkan kisah hidupnya lalu memberinya uang? Aduh, aku tak tega meminta kepastian dari gadis cilik itu. Kedua kakanya justru menganggapnya wajar sambil berujar, “Halah, dia tidak tahu apa-apa mbak, dia masih kecil,”

Dia memang masih kecil, dan justru karena usianya yang masih kecil itulah aku semakin bingung, darimana ia mendapat ide cerita semacam itu? Apa mungkin dia ingin menjadi pengarang? Atau sutradara? Atau sekadar ingin berbagi cerita khalayalan padaku? Entahlah.

 

Jember, 19 Desember 2014


Komentar