Namaku Bem
Perkenalkan, namaku Bem. Kalian tak
perlu tahu siapa nama asliku. Yang pasti, aku lebih bangga dipanggil Bem. Kalau
kalian datang ke kampusku dan bertanya, “Apakah mengenal Bem?”, aku yakin 99,9%
orang yang kalian tanya akan menjawab “iya”. Mungkin kalian heran, lelaki
dekil, miskin, dan kampungan sepertiku ternyata lebih populer daripada duta
kampus yang tinggi, putih, dan bersih. Itu semua karena namaku adalah Bem.
Sebuah nama ajaib yang membuatku tenar bergelimang
harta gratisan.
Semua bermula ketika aku
mendaftarkan diri di hampir semua organisasi mahasiswa. Aku memang terobsesi
menjadi aktivis kampus—menjadi mahasiswa yang selalu menjunjung tinggi Tri Fungsi,
aktif berorganisasi, memimpin demonstrasi, dan yang pasti menjadi tenar dan
dikagumi.
Sampai
usiaku yang menginjak semester 10 di kampus ini, lebih dari tiga puluhan
organisasi kuikuti, dua puluhan jabatan penting kumiliki, dan ratusan acara
keorganisasian baik di dalam maupun luar kampus kuhadiri. Tapi yang lebih
penting dari itu semua adalah: kini aku dianugrahi nama Bem. Sebuah nama ajaib
yang membuatku dikenal banyak orang. Tidak cuma di kampusku saja, tapi juga di
kampus-kampus lain, terutama yang pernah kukunjungi ketika studi banding.
Dua Nasehat Ajaib
Baiklah, nampaknya kalian mulai
kesulitan dalam menangkap cerita tentang pengalaman organisasiku yang bejibun.
Itu kesalahan kalian sendiri. Kalau saja kalian tidak menjadi mahasiswa
kupu-kupu pasti kalian akan mudah mencerna ceritaku. Tapi tak masalah. Aku
adalah seorang aktivis kampus yang merangkul semua golongan mahasiswa. Jadi
dengarkan nasehatku baik-baik.
Pertama,
ikutlah banyak organisasi. Kalau perlu, miliki jabatan tertinggi mulai dari BEM
jurusan, fakultas, hingga universitas. Jangan puas sampai di situ saja. Ikuti juga
komunitas-komunitas paling hits, UKM atau UKMF paling eksis, dan tentunya berbagai
macam organisasi ektra kampus, mulai dari yang berafiliasi kedaerahan, sampai
yang berpaham nasionalisme atau keislaman.
Kedua,
rajinlah mengikuti studi banding ke kampus-kampus elit. Selain membuat kalian
lebih tenar sepertiku, kalian juga bisa travelling
sambil selfie dan makan gratis.
Dijamin, stok foto kalian buat ganti DP dan upload
di Instagram nggak bakal habis
selama sebulan. Nah, hitung-hitung dapat bonus disebut mahasiswa kekinian.
Yah... seperti aku gini deh!
Pokoknya,
kalian nggak bakal menyesal karena
mengajukan program studi banding ke Wakil Rektor III. Aku sudah membuktikannya.
Apalagi, kalau kalian bernama Bem sepertiku. Dana kemahasiswaan yang kalian
dapat untuk sekali studi banding bisa mencapai 60 juta dipotong pajak.
Bayangkan, dengan jumlah dana itu kalian bisa meningkatkan kualitas organisasi
dan bahkan memajukan kampus. Lihatlah, betapa mulia perbuatan kalian!
Kalian tidak perlu sungkan dengan besarnya
dana yang kalian ajukan untuk sekali perjalanan ke Bandung, Jakarta, atau Bali.
Toh, perjalanan yang kalian lakukan adalah studi banding; sebuah perjalanan
mulia untuk meningkatkan kualitas organisasi dan juga kampus. Biarkan saja
mahasiswa lain iri melihat foto DP kalian yang berlatar kampus UPI, Unpad, ataupun
Monas dan Tangkuban Perahu.
Kalian
juga tak perlu jaim ketika mahasiswa sok idealis menyebut kalian oportunis dan
tidak tahu diri. Ini semua memang opportunity
yang dibuka lebar-lebar bagi mahasiswa yang bisa melihat peluang seperti
kalian. Siapa suruh menjadi mahasiswa kupu-kupu atau setengah-setengah dalam
berorganisasi. Aku kan sudah
mengingatkan: jadilah mahasiswa organisatoris sepertiku, punya panggilan ajaib
bernama Bem, dan tentunya sering studi banding sekalian travelling.
Karma
Tapi
akhirnya aku lelah dengan semua organisasi yang kuikuti. Aku sekarang resah
dengan nasib kuliahku. Usiaku di kampus ini mulai menua, bapak-ibuku di kampung
sering telfon dan menanyakan kapan aku lulus. Aku bingung menjawabnya. Di
semester 10 ini, masih ada lima belas mata kuliah yang belum kuambil. Aku
bahkan harus mengulang sekitar lima mata kuliah yang memperoleh nilai D dan E.
Nampaknya,
semua pengalamanku studi banding tak ada gunanya. Setiap kali pergi ke kampus
lain, aku hanya membawa oleh-oleh foto dokumentasi untuk kupamerkan di Instagram.
Ketika teman-teman dan para doseh menagih, “apa saja ilmu yang kudapat dari
studi banding?”, aku malah terkekeh dan menyebut mereka terlalu serius
menjalani hidup. Aku bilang, studi banding itu bertujuan untuk menambah
pengetahuan baru, menambah relasi, dan juga mencari referensi sistem
keorganisasian kampus. Jadi, manfaat yang didapat tentu tersimpan di memori
masing-masing peserta, mana mungkin bisa dibagi?
Sepertinya
ini semua karma. Aku menjadi mahasiswa tua dan semua orang memandangku sinis.
Sungguh, aku baru menyadari keikutsertaanku studi banding sama sekali tak
berguna. Salahku sendiri juga. Dulu ketika rapat sesama mahasiswa bernama Bem,
kami tak memikirkan kampus tujuan yang sekiranya memiliki kultur yang sama
dengan kampusku. Kami hanya sibuk memikirkan bonus jalan-jalan ke tempat wisata
yang lebih seru dan belum pernah kami kunjungi.
Aku
merasa bersalah. Betapa banyak dana kemahasiswaan (uang negara) yang kami
hambur-hamburkan untuk studi banding. Padahal, disana kami hanya 2-3 jam berdiskusi,
dan sisanya kami sibuk berfoto dan menikmati wisata gratis. Aku tak mendapat
ilmu dan pengetahuan baru. Pantas saja, bolak-balik studi banding, tapi
organisasi dan juga kampusku tak mengalami kemajuan.
Kini,
aku baru menyadari bahwa perjalanan yang selama ini kulakukan tidak
menjadikanku sebagai manusia yang ingin meningkatkan kapasitas diri. Aku hanyalah
mahasiswa oportunis yang gila rekreasi gratis. Ibarat para dewan yang
duduk di parlemen, begitulah kebiasaanku
dulu: alih-alih studi banding menambah ilmu, tapi kenyataannya tak pernah
berbagi ilmu setibanya di kampus. Mulai sekarang, panggil namaku Bem Oportunis!
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentarmu :)