Alzheimer
Tanggal 21 September ditetapkan
sebagai hari alzheimer sedunia. Ya, alzheimer—atau yang biasa dikenal dengan
sebutan ‘pikun’ atau ‘demensia’. Rupanya perhatian dunia cukup besar terhadap
penyakit ini, sampai-sampai dibuatkan hari peringatan setahun sekali.
by Google |
Saya teringat salah satu famili
tertua di keluarga saya yang kini mengalami kepikunan. Sebut saja namanya Mbah
Putri. Usianya hampir 80 tahun ke atas. Dulu, sebelum beliau mengalami demensia
seperti sekarang, beliau termasuk nenek-nenek paling aktif di desaku—mungkin
tidak berlebihan jika disebut hiperaktif. Mbah Putri tinggal sendirian di
rumahnya yang cukup besar. Suaminya telah lama mati, dan keenam anaknya memilih
hidup bersama suami/istri masing-masing
di desa lain.
Saban hari Mbah Putri mengerjakan
semua aktifitasnya sendiri—mencuci sendiri, memasak sendiri, makan sendiri,
mandi sendiri, nonton TV sendiri, dan tidur pun sendiri. Mbah Putri juga tak
pernah absen jama’ah sholat lima waktu di masjid dekat rumahnya. Sembari pulang
dari masjid, beliau sesekali mengunjungi
rumah tetangga dan menceritakan kesuksesan anak-anaknya dalam bekerja. Beliau
memang suka bercerita soal anaknya. Bahkan, tanpa diminta pun, beliau akan
dengan senang hati menceritakan satu per satu anaknya dari mulai lahir sampai
kehidupannya sekarang.
Mbah Putri juga sering
mengunjungi rumah anak-anaknya di desa sebelah. Pagi hari ke rumah anak pertama
di Desa A, lalu sorenya ke rumah anak kedua dan ketiga yang sama-sama tinggal
di Desa B. Kalau bukan karena beda kecamatan/ kota, mungkin keenam anaknya akan
dikunjungi satu per satu setiap harinya. Bahkan, yang membuatnya luar biasa
adalah beliau melakukannya dengan berjalan kaki. Bayangkan, nenek setua itu
berjalan kaki dari rumahnya ke desa A, lalu pulangnya berjalan kaki (lagi).
Setelah itu langsung berangkat ke desa B dengan berjalan kaki (lagi dan lagi),
dan pulang ke rumah dengan jalan kaki (lagi, lagi, dan lagi).
Namun, itu semua dulu.
Cerita-cerita soal ‘hiperaktifitas’ Mbah Putri telah digantikan dengan kisahnya
yang kini menderita kepikunan selama dua tahun terakhir. Mbah Putri mulai lupa
akan nama-nama tetangga, saudara, dan bahkan jadwal sholat lima kali sehari.
Beliau juga sering meminta uang pada beberapa kerabat yang masih beliau ingat.
Dalam sehari, Mbah Putri bisa meminta uang sebanyak 2-5 kali. Tentu saja karena
beliau sudah pikun. Anehnya, beliau selalu mengatakan, ‘pinjam’ atau ‘hutang’
untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Namun, setibanya di rumah, uang-uang yang
didapat dari kerabatnya itu malah dibagikan pada bocah-bocah di dekat rumahnya.
Alhasil, bocah-bocah usia TK tersebut sering mengganggu Mbah Putri untuk
meminta uang. Dan Mbah Putri pun akan lebih sering meminta uang kepada
kerabat-kerabatnya.
Semakin bertambah tahun,
kepikunan Mbah Putri semakin parah. Ketika berkunjung ke rumahku, beliau
terkejut melihat televisi yang sedang nyala. “Oh, ini yang namanya TV? Yang
bisa ngomong itu ya? Di rumahku juga ada, tapi aku nggak bisa nyalain,” ujarnya
heran. Tubuhku mematung mendengarnya. Bagaimana bisa beliau lupa apa itu TV padahal
dulunya beliau menonton TV setiap hari? Mbah Putri…. Malang sekali dirimu!
Beliau pun kini sering dilanda
paranoid berlebih. Saban malam beliau tiba-tiba merasa takut—meskipun anak
bungsunya sekarang pindah ke rumahnya dan menemani tidur. Kebiasannya mengoceh
sendirian soal kesuksesan anak-anaknya juga telah lama hilang. Jumlah dan
nama-nama anaknya sendiri saja beliau tak ingat.
Beberapa bulan lalu—ketika
kepikunan Mbah Putri tidak separah sekarang, beliau sempat mencurahkan
perasaannya pada ibuku. Lebih tepatnya secara keceplosan bercerita tentang
dirinya. Katanya, “Entahlah, aku heran. Kadang-kadang ingat, kadang-kadang
langsung lupa dan bingung,”
Lalu ibuku menimpali, “Memangnya apa sih yang mbah pikirkan itu? Kok sampai bingung
begitu?”.
Beliau menjawab dengan nada
getir, “Entahlah. Kadang aku berpikir, kemana saja anak-anakku, cucu-cucuku….
Mengapa tak ada satupun yang mau menemaniku? Setiap malam aku selalu berpikir,
kemana saja mereka?” ujarnya lirih.
“Kadang aku takut, jika
malam-malam sendirian, lalu aku dengar seperti ada seseorang yang menggedor
pintu rumah… aku takut. Makanya aku diam saja kalau ada tamu,” lanjutnya dengan
mata berkaca-kaca. Aku hampir menangis. Namun Mbah Putri mengalihkan
pembicaraan dan membuatku tertawa karena cerita konyolnya.
Ternyata kesepian. Itulah awal
kepikunan Mbah Putri. Perasaan sunyi, sepi, tak memiliki siapa-siapa, dan….
beliau hanya bisa meringkuk sendirian sambil bertanya mengapa, mengapa dan
mengapa. Aku teringat salah satu kutipan buku Pengantar Ilmu Komunikasi yang
kubaca saat pertama kali masuk studi. Buku tersebut menuliskan, “Seseorang akan
lebih cepat mati jika tidak berkomunikasi.” Aku menafsirkan, salah satu
penyebab matinya seseorang ialah menurunnya aktifitas komunikasi. Dimulai dari
lumpuhnya ingatan, hilangnya memori, dan lama kelamaan seluruh organ tubuhnya
mati satu per satu. Tak heran, Rosululloh pun bersabda, “Tali silaturahmi dapat
memperpanjang usia”
Betapa malangnya Mbah Putri.
Memorinya telah mati bersama harapannya yang tak kunjung ia dapati. Get Well Soon Mbah Putri. Semoga anak
cucumu segera mengerti.
NB: Semoga alzheimer tak akan
memakan lebih banyak korban.
Bangkalan, 25 September 2016
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentarmu :)