Firasat Kematian

Baru saja ada kabar duka yang kuterima dari salah seorang sahabat. Bapak dari kawan SMA-ku dulu telah berpulang—dan kebetulan aku juga mengenal Bapak yang baik hati itu. Rasanya begitu mendadak, kabar itu seakan-akan tak memberikan isyarat terlebih dahulu sebagai bentuk pamit yang santun. 

by Google

Aku merasakan betul bagaimana kesedihan yang teramat dalamnya itu memenuhi jiwa sahabatku: ia benar-benar kehilangan Bapaknya. Ia pun menyesalkan kematian Bapaknya yang begitu tiba-tiba. Bayangkan saja, kematian Bapaknya bukan karena penyakit menahun yang parah, bukan pula karena kecelakaan atau serangan jantung yang mematikan. Tiba-tiba mati begitu saja sepulangnya dari sawah. Kebetulan beliau hendak mengecat rumah, dan tangga yang dinaikinya membuatnya terjatuh lalu mati, kata temanku. 

Sayangnya, orang-orang selalu bertanya ada firasat apa tadi malam? Lalu berceritalah keluarga yang ditinggal mati itu tentang firasat-firasat yang ia rasakan. Sang keluarga pun menganggap firasat itu adalah kenangan terakhir yang dirasakannya begitu mesra. 

Lantas, kelegaan macam apa yang keluarga itu rasakan setelah berceloteh panjang lebar? Seandainya pun kematian seseorang yang kita sayangi memberikan isyarat terlebih dahulu—katakanlah semacam mimpi atau firasat tertentu—aku yakin hal itu pun tak lantas akan melegakan kita. Semuanya sama saja. Sebab setiap kematian adalah duka bagi siapa pun yang mencinta.

Kematian adalah duka. Dan semakin kita menguak alur kematian orang-orang yang kita sayangi, pada saat itulah kita akan merasa pedih yang teramat dalamnya. Kadang, kesedihan itu akan menggiring pikiran kita pada penyesalan yang tak berujung: seakan-akan kita sebagai yang terdekat tak mampu menjaga seorang yang kita sayangi dengan sebaik-baiknya, sehingga dia mati dan terkapar. Dan kasihan sekali kau yang ditinggal mati, itu adalah akibat dari seorang yang telah dzolim! Mungkin suara-suara menyakitkan itulah yang kemudian menghantui kita.

Padahal kalau saja kita tak pernah lupa, kuasa Tuhan tentang kematian ialah nyata. “Semua yang bernyawa akan mati,” begitu kata-Nya. Dan mengapa harus mengatasnamakan perlunya “firasat” untuk menyembunyikan kesedihan yang mendalam? Bukankah datangnya kematian itu wajar-wajar saja? Bukankah kematian memang menjadi rahasia, jadi mengapa perlu firasat sebagai tanda kemunculannya?

Sejujurnya aku pun tak mampu menahan kesedihan ketika ditinggal orang-orang yang kusayangi. Tapi mengharap firasat kematian seseorang hanya akan menjauhkan kita untuk percaya pada datangnya kematian.
Lewat tulisan ini, aku hanya berdo’a semoga Bapak temanku yang telah tiada dapat diterima di sisi-Nya. Semoga beliau ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya, dan semua yang ditinggalkan tabah menghadapi kedukaan.

Betapa pun tiba-tiba, mengejutkan, dan teramat menyedihkan—segala takdir kematian itu memang telah digariskan: dan memang kita harus menerimanya—sesulit apapun itu! 


Rumah Mbah-Trawas, Mojokerto
20 Februari 2015

Komentar