Antara Bukit Cibalak dan Dukuh Paruk

by Google
Judul : Di Kaki Bukit Cibalak
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2014
Tebal : 176 halaman

Mengenal Ahmad Tohari dalam novelnya yang termasyur, Ronggeng Dukuh Paruk, saya yakin akan membuat Anda ketagihan untuk menjelajahi karya-karyanya yang lain. Begitulah yang saya rasakan, merasa ada greget yang menajubkan dalam kisah Srintil dan Rasus, akhirnya membuat saya membaca salah satu novel Ahmad Tohari yang lain: Di Kaki Bukit Cibalak.

Hampir sama dengan Ronggeng Dukuh Paruk, dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak ini, Ahmad Tohari lagi-lagi mengangkat setting kehidupan pedesaan, dengan tokoh-tokohnya yang begitu lugu. Kalau saya lihat, ada semacam setting yang hampir sama dari kedua karya Ahmad Tohari yang baru saya baca tersebut. Diantaranya:

1. Karakter seorang kembang desa (Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk, dan anak modin—yang saya lupa namanya dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak). Kedua tokoh tersebut ialah seorang gadis desa yang cantik, sama-sama diceritakan memiliki banyak pengagum di desanya. Dengan kesamaan karakter ini, seakan-akan Ahmad Tohari meyakinkan pembacanya, stereotipe perempuan cantik ialah mereka yang banyak dikejar lelaki untuk dilamar. Dan lihatlah, definisi cantik yang dibentuk kedua novel tersebut yaitu mereka yang berkulit putih, halus dan segar. Kira-kira kalau Anda adalah salah satu dari yang tidak berkulit putih, halus, dan segar, apa Anda akan mau mengiyakan stereotipe yang diciptakan Ahmad Tohari ini? Hmm...

2. Karakter lelaki yang diciptakan sebagai kekasih sang kembang desa (Rasus bagi Srintil, dan Pambudi bagi anak modin). Keduanya sama-sama lelaki yang baik hati, dan akhirnya sama-sama mengalami cerita cinta yang kandas. Rasus sukses sebagai tentara dan tak mau lagi memikirkan cintanya pada Srintil, sedangkan Pambudi juga merasa nyaman dengan kehidupan barunya sebagai mahasiswa di kota yang akhirnya memaksanya melupakan anak modin yang dipersunting lurah culas di desanya. Kedua kisah ini seakan-akan meneguhkan betapa cinta yang tulus itu kadang kala tak bersesuaian dengan garis takdir. Bahwa cinta yang tulus selalu mengajarkan bagaimana mencintai dengan tulus, bukan bagaimana berhasrat saling memiliki.

Sayangnya ada sedikit kekecewaan yang saya rasakan setamatnya membaca Di Kaki Bukit Cibalak. Dalam novel ini saya kehilangan kompleksitas konflik dalam alur cerita yang ditulis Ahmad Tohari. Sehingga kesan yang saya dapat seperti datar-datar saja, bahkan dalam kisah romansanya pun tidak terlalu manis—berbeda ketika saya membaca kisah Srintil dan Rasus. Namun yang menjadi nilai tambah dalam novel ini adalah gaya menulis deskriptif yang digunakan Ahmad Tohari dalam melukiskan suasana latar, membuat cerita dalam novel ini terasa hidup dan nyata. Disinilah pembaca akan merasakan indahnya alam, manisnya kisah percintaan, hingga kengerian praktek perdukunan di sebuah terpencil.

Karya Ahmad Tohari ini selain dapat dijadikan teman untuk mengisi waktu luang, juga dapat menambah pelajaran moral kita agar bersikap lebih baik dan bijak.

Komentar