Wanita Seharga Mie Ayam

Aku menyebut seorang teman perempuanku itu hanyalah wanita seharga satu mangkok mie ayam. Iya, kalau kau membelinya di warung-warung pinggir jalan, mungkin harganya sekitar 7-15 ribu rupiah saja. Tidak lebih!

by Admin

Entah dakwaku begitu kejam atau tidak. Tapi jujur saja, hatiku bergidik seketika pemandangan liar itu mengusikku akhir-akhir ini. Aku teringat ketika pertama kali melihat lingkungan prostitusi di Surabaya setahun silam, tampak jelas bagaimana seorang mucikari hidup dalam ketidakpastian. Karenanya, aku dapat memafhumi kehidupan mereka yang ‘terpaksa’ memasuki dunia gelap. Ada kekacauan dibalik keputusan mereka berada di tempat rungsep dan memilukan itu. 

Tapi, kekacauan macam apa yang ada dibalik tingkah temanku yang satu ini? Ia seakan-akan menganggap dirinya sebagai sosok perempuan cerdik yang mampu membuat lelaki mengemis cintanya. Memang begitulah yang terjadi, lelaki yang dipanggilnya pacar itu dengan setia mengemis cinta sang gadis setiap waktu. Eits, maaf. Dia tak mengemis—malah menjamu apapun yang diminta sang gadis alih-alih agar tak diputus sepihak. Kira-kira beginilah yang kerap kali mereka risaukan:

A: Kamu itu nggak pernah ngertiin aku. Kamu sudah berubah, nggak kayak dulu lagi. Kamu selalu kayak gitu, bla.... bla... bla.... Mending kita putus aja daripada kayak gini
B: Ya nggak bisa begitu yank...
A: Terus maumu gimana? Kamu nggak pernah ngertiin perasaan cewek.
B: Ya sudah aku kesitu ya?
A: Ngapain kesini? Ngomong aja lewat telfon.
B: Nggak, aku kesitu... kamu mau apa? martabak? mie ayam? bakso? cap jay? gulai? coklat?..................... eskrim?

Mata si gadis menyala-nyala, lidahnya nampak menjulur seperti ular yang kelaparan. Aktingnya telah membius sang pacar hingga menjadi pelayan warteg yang baik hati. Mereka pun mengakhiri pertengkaran itu dengan makan mie ayam berdua. Dan begitulah kebiasaan mereka setiap malam: sayang-sayangan, rayu-rayuan, ketahuan sms mantan, tengkar, minta putus.... terus beli mie ayam, dan akhirnya baikan. Sayang-sayangan lagi, tengkar lagi, beli mie ayam lagi.... tengkar lagi... entah sampai kapan mie ayam terus-terusan mereka libatkan dalam masalah mereka.

Sejujurnya aku tak berhak mencela hubungan mereka berdua. Tulisan ini barangkali hanya akan membuatku dituduh iri atau syirik pada mereka. Dan mungkin, aku dianggap cuma kepingin dikasih mie ayam. Hello... tolong jangan berpikir semacam itu—meskipun itu sah-sah saja. 

Apa kau tak miris menyaksikan pemandangan semacam itu? Atau justru kau miris padaku yang menganggap hal itu menjijikkan? Terserah pandangan kalian. Hanya saja, aku tak setuju jika ungkapan maaf, perasaan sayang, cinta kasih, atau apalah itu... begitu rendahnya tinggal ditukar dengan uang dan bahkan cuma semangkok mie ayam. Si gadis dengan sangat rendahnya, pura-pura merajuk agar dibelikan mie ayam. Lalu apa bedanya harga diri gadis itu dengan semangkok mie ayam yang dijual 7-15 ribu rupiah saja di pinggir-pinggir jalan? 

Baiklah, kau mungkin menganggapku tidak etis. Kau akan membela gadis itu sambil berkilah begini, Sudahlah, itu memang terkesan melacur demi mie ayam. Tapi hal itu beda. Si gadis justru cerdik karena ia malah bisa menguasai lelakinya. Ia bukan wanita remeh, karena ia berhasil memanfaatkan pacar, dan tentunya menuai kesempatan dalam kesempitan. Si lelaki saja yang bodoh.

Kalimat terakhir, si lelaki saja yang bodoh, aku sangat setuju. Tapi, kalau kau tadi menganggapku tidak etis, bukankah lebih tidak etis lagi perilaku si gadis yang merajuk setiap hari hanya demi semangkok mie ayam? Ia berpura-pura sedemikian rupa, seakan-akan dia sedang marah, lalu salah paham, dan akhirnya ia minta dibelikan mie ayam. Dan bukankah yang justru menjadi penguasa adalah si lelaki lewat uang dan semangkok mie ayam yang ia belikan? Si gadis tak menyadari bahwa ia dikuasai mie ayam. Kata maafnya, perhatiannya, cintanya, dan bahkan dirinya... ia berikan cuma-cuma pada sang lelaki hanya bersyaratkan semangkok mie ayam. Kau tak menyadari bahwa sesungguhnya gadis itulah yang sangat membutuhkan si lelaki (uang dan mie ayam). Tapi kembali lagi, si lelaki saja yang bodoh!

Kamal-Bangkalan, 10 Oktober 2014

Komentar