Mereka Tak Dibayar

Selepas mengikuti serangkaian acara Festival Jurnalis Warga 2014 di Universitas Airlangga, ada satu pertanyaan yang mengusikku. Pertanyaan itu terlontar dari salah satu jurnalis warga (JW) yang kini menempuh studinya di Universitas Jember. Sayangnya aku lupa siapa nama lelaki yang bertanya padaku itu.

“Penting gak sih JW itu?” tanyanya.
“Ya penting mas,” jawabku tak yakin.
“Kenapa?” ia mengepungku. Aku belum sempat menjawab, tapi ia kembali menimpaliku, “Mereka itu tidak ada yang membayar lho. Tiap kali saya ngirim berita buat media online juga tidak ada kompensasinya. Jadi, apakah mereka itu penting? Dan apa kamu mau jadi JW seperti itu?”

Aku diam. Kebetulan saat itu MC sedang mengundang TVRI untuk take video. Dan kami berdua terdiam. Dialog kami terpangkas begitu saja. Sedangkan aku belum menemukan jawaban yang tepat dari pertanyaan JW Jember tersebut.
Para Peserta Festival Jurnalis Warga 2014 bertempat di Universitas Airlangga


Menjadi Jurnalis Warga

Akhirnya aku mereka-reka sendiri tentang bagaimana JW itu. Pertama, JW tak selalu memiliki pendidikan memadai dari sebuah rumpun ilmu jurnalistik secara formal. Kedua, kerja peliputan dan advokasi sebuah isu terkadang dilakukan individual, dan bahkan menjadi sampingan jika sedang mau meliput dan menulis. Ketiga, berita yang dihasilkan tak selalu dimuat secara pasti. Keempat, mereka memiliki resiko yang tak jauh berbeda dengan jurnalis umum. Misalnya, mengalami susahnya wawancara dengan narasumber, dan bahkan sampai diusir atau diteror. Tapi, dibalik itu semua, mereka tidak dibayar!

“Jadi, apa kamu berminat menjadi JW seperti itu?” pertanyaan ini lagi yang akhirnya muncul. 

Nampaknya, hanya orang-orang pilihan yang bersedia menekuni jurnalisme warga. Bagaimana tidak? Siapa yang di era kapitalisasi media seperti ini, malah mencemplungkan diri sebagai jurnalis tanpa bayaran—kalau bukan orang-orang tertentu? Sudah gitu mereka malah memiliki resiko yang sama dengan jurnalis pada umumnya. Mungkin, bagi mereka adalah tugas semua warga untuk melaporkan berita: informasi faktual yang penting, berpengaruh, atau pun yang menarik. Apalagi informasi tersebut malah tidak dijangkau dan justru diabaikan oleh media mainstream. Nah, tugas siapa lagi untuk mewartakannya—kalau bukan warga sendiri? Menunggu media mainstream untuk meliputnya hanya tindakan abu-abu; alias tidak pasti. Belum lagi jika dikaitkan isu kapitalisasi media, media mana yang sekarang mau meliput tanpa perhitungan royalti? Pasti ada agenda setting dulu waktu rapat redaksi, terus dilanjutkan framing untuk konstruksi makna, arrgh... ribet pokoknya! 

Eits, tunggu dulu, apa jadinya kalau menjadi JW justru dijadikan kedok buat cari eksistensi? Mereka mungkin saja mengirim beritanya ke media mainstream—alih-alih untuk partisipasi JW, tetapi untuk mengejar honor? Oportunis banget itu mah, cari eksistensi! Ah, masa? Wallahu’alam, biar Tuhan yang menilainya.

Surabaya, 19 Oktober 2014

Komentar