Melupakan Kematian

Aku terbangun dalam keadaan linglung. Entah karena baru terbangun dari tidur di sore hari—yang katanya tak baik untuk tubuh, atau pengaruh mimpi yang baru saja bertamu dalam tidurku. Kurasa yang kedua itulah yang telah membikinku merasakan sesak yang tak mampu kujelaskan. Ada semacam hawa depresi, letih berkepanjangan, dan teringat akan kegagalan batin dalam memaknai hidup. Aku pusing. Pikiranku tak lagi jernih seperti semula. Mimpi itu benar-benar membunuh jiwaku pelan-pelan....

By Google

Dalam sebuah kehidupan yang tak dapat kubedakan antara nyata atau tidak, aku melihat seorang lelaki tua yang amat kukenal di dunia nyata. Dibalik latar hitam sebuah bangunan, aku melihatnya terdiam seperti diselimuti pikir yang sedang gelisah. Entahlah, aku tak sempat menegurnya, sehingga tak dapat kupastikan penyebab dari sikapnya yang ambigu. Tak lama setelah wajah lelaki tua itu membiusku dalam beberapa detik, muncullah kesadaran yang seketika menampar organ sarafku. Aku teringat bahwa lelaki tua itu adalah mbahku. Mbah yang baru seratus hari yang lalu meninggal akibat digerogoti diaabetes mellitus. 

Mbahku, kenapa kau menghampiriku dengan wajah mengibakan?
Apa di dekat Tuhan kau tak merasa nyaman?
Atau kau menemuiku karena rindu yang teramat brengsek itu?
Tetapi mengapa harus kegamanagan yang nampak di mukamu? Tak bersua dengan suka kah kau di dekat Tuhan? Tetapi mengapa mbah? Bukankah disana telah kau dapati kematian yang kau harap beberapa bulan yang lalu. Apa kau telah kalah dari mati?

Mbahku hanya diam. Tak sepotong kata pun ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan yang bergumul di benakku. Dan akhirnya aku tergolek dalam kesadaran yang utuh, bahwa barusan hanyalah mimpi. Tetapi, mengapa rasanya amat begitu nyata menusuk jiwaku? Kemudian aku melanjutkan tanyaku. Mengapa mbahku begitu sendu? Kurang apakah dia disana?

Lamat-lamat kucoba membongkar akar masalah ini, dan aku semakin linglung dibuatnya. Aku semakin teringat tentang mati. Seakan-akan mimpiku di sore tadi adalah tentang alarm kematian. Bahwa tak selamanya aku hidup di tengah kefanaan dunia. Tak selamanya juga aku dapat menghirup sejuknya udara pagi, sedapnya nasi goreng ketika ibuku memasaknya di pagi buta, atau mewangi mawar merah yang ditanam mbakku di depan rumah. 

Ah, mengapa aku dapat menghafal teori-teori sosial, teori-teori komunikasi—meskipun hanya beberapa, dan itu pun tidak mendalam, tapi hanya untuk mengingat bahwa esok aku akan mati, mengapa aku selalu lalai? Mengapa dapat kuhafal dengan baik tentang hal-hal baik atau buruk yang dimiliki temanku, tetapi mengapa tak bisa kuingat betul bahwa tak selamanya aku akan tetap hidup di dunia ini? Aku juga akan bernasib seperti mbahku yang telah mati seratus hari yang lalu, tetapi aku melalaikannya.

Mbahku, mungkinkah kau kini berduka atas kelalaian cucumu? Tentang kemalasanku yang jarang mengirimu do’a barang sekali saja bacaan surat Yaasin untukmu, atau al-fatihah, Al-Ikhlash, dsb. Maafkan aku mbah... Aku terlalu lalai dengan hal-hal demikian. Maaf...

Kamal-Bangkalan, 21 November 2014

Komentar