Ironi Dukuh Paruk

by Google
Judul Buku : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 408 halaman
Tahun terbit : 2011 (cetakan ke-7)

Ahmad Tohari mengambil latar sejarah tahun 1960-an ketika PKI tengah berkecamuk di bumi nusantara, dan akhirnya diberangus habis oleh kuasa orde baru. Namun, Ronggeng Dukuh Pakuh tidak lantas menceritakan secara gamblang bagaimana sadisnya pergolakan G/30 S/PKI kala itu. Penulisnya justru memperlihatkan sebuah dunia yang begitu kecil dan terpencil. Dukuh Paruk, sebuah pedukuhan yang digambarkan Ahmad Tohari begitu miskin dan seloroh-seloroh cabul menjadi suatu hal yang wajar.

Kisah dalah pedukuhan kecil itu bermula ketika seorang gadis cilik bernama Srintil menjadi ronggeng. Sebuah profesi yang akhirnya mengantarkan ia sebagai primadona milik semua orang. Kemolekan tubuh Srintil diperlombakan para lelaki yang hendak memuaskan birahi. Srintil pasrah, karena sesuai tradisi Dukuh Paruk, hal itu menjadi kewajiban perempuan yang menjadi ronggeng. Bahkan ibu-ibu merasa bangga jika suami mereka berhasil menikmati tubuh Srintil. Bagi mereka, hal itu adalah prestise dan menjadi kebanggaan. Tahun demi tahun, Srintil tumbuh menjadi kembang yang semakin dewasa. Pilihannya menjadi ronggeng telah memberinya harta yang begitu berlimpah—bahkan di saat para tetangganya yang lain masih terhimpit kelaparan dan kemiskinan.

Sampai disini kau mungkin berpikir bahwa Srintil adalah wanita yang tak tahu diri. Dan mungkin kau akan berpikir betapa jahannam kehidupan di Dukuh Paruk yang miskin dan buta huruf itu. Mungkin kau akan bertanya dimana letak nilai-nilai normatif yang ada disana. Kalian boleh saja berpikir demikian, namun kali ini saya berharap agar kalian buang jauh dulu pikiran-pikiran semacam itu. 

Ketika dewasa, Srintil mulai merenungkan makna hidupnya. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang telah lama hilang dari dalam dirinya. Bahkan di tengah kekayaan hartanya yang melimpah, ia merasa tak memiliki satu kekayaan yang semestinya dimiliki seorang perempuan. Srintil menginginkan seorang anak, ia menginginkan seorang lelaki—yang tak hanya menikmati tubuhnya untuk satu malam. Ia menginginkan seorang suami. Tapi, apa daya, ia telah menjelma sebagai ronggeng Dukuh Paruk. Ia adalah wanita milik semua orang. 

Dalam pergolakan batin itu, tiba-tiba peristiwa September tahun 60 melenyapkan semuanya. Srintil dan rombongan ronggengnya ditangkap militer. Orang-orang Dukuh Paruk dituduh terlibat dalam gerakan komunis. Mereka hanya bisa pasrah. Dan terlebih Srintil, ia malah mengutuk dirinya yang menjadi ronggeng.
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini mengajarkan pada kita, bahwa sekadar menjadi polos dan tak tahu apa-apa justru dapat membunuh kita pelan-pelan. Betapa pun cabul dan primitif Dukuh Paruk itu—selama kita mau merubahnya, akan ada cahaya terang yang mengikuti perubahan itu. ‘Srintil’ cukup satu kesalahan dan dosa besar Dukuh Paruk, jangan ada lagi ‘Srintil-Srintil’ selanjutnya. Begitulah salah satu kutipan dalam karya Ahmad Tohari ini. Buku ini akan menjadi pelita jiwa yang terang, jika Anda membacanya dengan penuh kekhusyukan dan turut menyelami kehidupan di dalamnya.

Komentar