Bisu

Ada salah satu kerabat di kampungku yang sejak kecil tiba-tiba bisu. Ia terlahir dengan pita suara normal, tetapi pada usia kanak-kanak tiba-tiba ia menjadi bisu. Aku tak tahu apa penyebab kelainan yang menimpanya itu. Orang-orang kampung sering mengatakan hal itu karma. Ada juga yang bilang kalau bisu yang menimpa kerabatku itu akibat magic para dukun. Sejujurnya aku tak ambil peduli tentang penyebab dibalik kelainan itu. Terkadang aku merasa heran, apa yang membuat dia tetap bertahan dengan kehidupannya yang bagiku amat menjemukan itu.

Bayangkan ketika kau mengetahui lika-liku hidupnya. Di usia yang mungkin hampir kepala tiga, lelaki bisu kerabatku itu seperti tak memiliki siapa-siapa. Kedua orangtuanya memang masih ada, tetapi sepenglihatanku, mereka lebih nampak mengeksploitasi anak lelakinya untuk bekerja dan bekerja. Ia seperti tak diberi hiburan yang menyenangkan selain hanya tontonan televisi di rumahnya. Mulai pagi hingga sore, entah apa saja yang ia kerjakan di ladang milik bapaknya, lalu ketika pulang ia hanya berada di depan layar televisi. Dan hal itu berlarut-larut hingga usianya yang kini semestinya menginjak perkawinan. 

by Google

Kau tahu, ia seperti terpenjara dalam hidupnya. Kalau saja ia sempat bersekolah pendidikan luar biasa, mungkin ada beberapa keterampilan berkomunikasi yang bisa ia miliki. Namun sejak kecil ia hanya disuruh untuk bekerja: merumput, mengurus ladang, sawah, dsb. Ia tak banyak berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Menulis pun ia tak mampu. Dan karena itulah, ia seperti tak memiliki teman atau sahabat yang berarti. Ia hanya berteman dengan layar televisi, karena semua kakak dan adik-adiknya kini telah menikah. Bapaknya justru pesimis ia akan menikah. Kata bapaknya, anak bisu seperti itu siapa yang mau. Aku tidak tahu bagaimana air muka lelaki itu begitu mendengar ucapan Bapaknya.

Namun sepenglihatanku, ia tak pernah berhenti bekerja. Dari pagi hingga sore... dari hari ke hari.... seperti tak ada kesenyapan apapun yang ia rasakan. Aku saja yang terlalu merendahkan hidupnya. Aku seperti melihat kehidupan yang teramat sunyi—dimana kau tak memiliki siapa-siapa, tak bisa bercerita atau mendengar cerita dari yang lainnya, dan kau justru hanya diperas tanpa diberi kesempatan untuk senang seperti manusia pada umumnya.

Dan aku teringat pada kebiasaanku sehari-hari: sedikit-sedikit mengeluh, sedikit-sedikit merasa jenuh, dan terkadang merasa paling menderita ketika ditimpa masalah. Seringkali kita merasa sunyi dan seperti tak memiliki siapa-siapa. 

Tapi lihatlah sekali lagi, ia terus bekerja dan bekerja. Seperti tak ada penyesalan yang mengharuskan ia menyerah pada hidup. Sebab ia sendiri tak merasa hidupnya sunyi; ia juga tak merasa jenuh atau jemu; ia justru bersyukur dan bersabar.

Mungkin, karena lupa bagaimana cara bersyukur dan bersabar itulah yang membuat manusia merasa sunyi; lalu menganggap kehidupannya tak berarti apa-apa...

Trawas-Mojokerto, 24 Januari 2015

Komentar