Gaya Bercinta Melayu Udik

by Google
Dwilogi Padang Bulan

Novel 1 : 
Padang Bulan 
(253+xiv halaman)

Novel 2 : 
Cinta di Dalam Gelas 
(265+viii halaman) 

Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2010





Mendengar nama Andrea Hirata tentu tak jauh ingatan kita tentang karya pertamanya, Tetralogi Laskar Pelangi. Berawal dari keempat novel—yang disebut-sebut sebagai karya fenomenal tersebut, nama Andrea Hirata kian melambung diantara para penulis dunia. Bukan hanya itu, pulau kelahirannya, Belitong, yang juga menjadi setting utama cerita Laskar Pelangi, kini menjadi salah satu destinasi istimewa bagi para wisatawan domestik. Pulau tersebut dijuluki Negeri Laskar Pelangi. Sebuah pencapaian yang besar, dan membuat kita terheran-terheran sambil bergumam, “Kekuatan macam apa yang ada pada goresan pena Andrea Hirata?”

by Google
Lokalitas. Hal itulah yang kemudian terngiang dalam benak saya. Dalam karya keduanya, Dwilogi Padang Bulan, ia masih setia mengangkat keintiman masyarakat Melayu di Belitong. Bahkan ia masih setia dengan sudut pandang ‘aku’ (Ikal) yang dikisahkan kembali sebagai seorang Melayu udik. Karakter Ikal tetaplah seorang pemuda yang mencintai A Ling, cinta pertamanya semenjak SD dulu. Padang Bulan menjadi novel yang mempetemukan kisah asmara dua sejoli tersebut, beserta karakter Laskar Pelangi lainnya, Maryamah Karpov, Lintang, dll. Lalu apa yang menarik dari Padang Bulan, kalau toh tak ada bedanya dengan Laskar Pelangi?

Hal menarik yang pertama, begitu kita melihat kedua sisi kulit luar Padang Bulan, ternyata terdapat dua judul novel berlainan yang disatukan dalam satu buku. Nah, ini menjadi menarik karena setelahnya habis membaca novel pertama, tinggal memutar buku dan membalik lembaran novel berikutnya pada buku yang sama. Ternyata Andrea Hirata cukup mafhum dengan peringatan use both of sides of the paper, hehe... Setidaknya kalau dihitung-hitung, dia telah menghemat penggunaan kertas cover beribu-ribu lembar :D

Di novel pertama yang berjudul Padang Bulan, Andrea Hirata memperkenalkan sosok Enong, gadis kecil yang telah bekerja sebagai pendulang timah sejak usianya masih 14 tahun. Human interest amat kentara dalam cerita Enong ini. Salah satunya ketika Andrea Hirata menakdirkan Enong sebagai sosok yang pantang menyerah, dan selalu mengatakan: “Kalau aku bersedih, aku hanya akan menangis semalam. Dan esoknya aku harus semangat dan kuat lagi. Sebab dunia masih harus berlanjut,”

Bersamaan dengan cerita Enong yang mengharukan, Ikal yang menjadi pencerita dalam kedua novel, juga menceritakan panjang dan lebar soal kisah asmaranya bersama A Ling, cinta pertamanya semasa SD dulu. Suasana menjadi amat manis dengan cerita romansa Ikal ini. 

Namun yang amat mengganggu, seperti ada hitam putih yang melompat-lompat dari novel Padang Bulan. Di beberapa bagian, Andrea nampak dingin dengan cerita birunya soal Enong, namun setelah itu suasana berubah menjadi naskah jenaka karena gaya penceritaan Ikal yang konyol. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan akhirnya gaya penceritaan konyol lebih dominan.

by Google
Lanjut di novel kedua, gaya penceritaan konyol masih tetap dominan. Enong lebih dikenal dengan sebutan Maryamah Karpov, dan ia pun tetap diceritakan sebagai seorang yang pantang menyerah. Di bagian kedua ini, Andrea Hirata lebih banyak membahas filosofi cinta dan segelas kopi. Hal ini menjadi tema cerita yang cukup menarik. Karena selain menghadirkan cerita yang manis, Andrea juga memfilosofikan kopi ke dalam lokalitas budaya orang Melayu. Nah, lagi-lagi Andrea Hirata cukup lihai dalam membangun karakter tokoh dan setting lokalnya dengan amat elegan.

Namun, ada satu hal lagi yang mengganjal. Dari segi penataan alur, Andrea nampak sangat klise dalam menakdirkan tokoh-tokohnya. Enong sebagai tokoh protagonis, tak ubahnya sosok putri-putrian yang mendapat keajaiban pada setiap ending cerita. Di awal cerita ia menemui jalan yang berliku, dan kemudian di bagian akhir, ia mendapati jalan lurus yang menyambutnya kian hangat. Hal ini tidak dapat saya terima legowo, sebab jiwa protagonis Enong juga diliputi sifat pendendam. Karenanya, menjadi pilihan yang kurang tepat dengan menakdirkan Enong ke dalam happy ending yang bertubi-tubi. Pertama, ending tersebut terasa kurang tepat untuk mengganjar kadar moralitas Enong, dan kedua menjadikan ending terkesan berlebihan dan dipaksakan. 

Hehe... ocehan saya di atas cuma omong kosong, tak perlu dipercaya. Sebab itu menyesatkan. Secara keseluruhan, dwilogi Padang Bulan menggambarkan kearifan lokal masyarakat Melayu, dan terutama mengenai tradisi dan gaya percintaan mereka. Padang Bulan dapat menjadi pembelajaran yang efektif untuk kita lebih mengenal dari siapakah kita lahir dan dibesarkan. Mengapa bisa seperti itu? Padang Bulan dan Cinta di dalam Gelas akan menjawab pertanyaan sobat—maksudnya sih pertanyaan yang saya ajukan spesial buat sobat, hehe... :)

Komentar