Menulis itu Mudah!

Judul : Be A Brilliant Writer
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Gizone Books
Cetakan : ke-1 (tahun 2011)
Tebal : 272 halaman

by Google
Kiat sukses menjadi pendekar pena! Begitulah tagline yang terpajang dalam cover buku Be A Brilliant Writer karya Afifah Afra. Buku tersebut dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: Motivasi, Rimba Raya Kepenulisan, dan Writer-preneur. Ketiganya disusun secara runut dan saling melengkapi.

Pertama, motivasi. Afifah mencoba membakar semangat para pembacanya agar mereka semakin mantap untuk terjun di dunia tulis menulis. Kenapa harus mantab? Penulis jebolan Forum Lingkar Pena (FLP) tersebut berbagi cerita tentang awal karirnya sebagai penulis, dan mengatakan bahwa menjadi penulis bukanlah karena bakat, melainkan adanya minat dan usaha. Disitulah saya mulai berpikir bahwa buku ini tak lebih dari sekadar bualan imajinasi penulisnya yang bercerita tentang sesuatu yang selalu baik, indah dan positif. Tapi, seburuk itukah buku Afifah Afra? Tentu saja tidak. 

Motivasi 
Beberapa waktu terakhir saya memang tak suka membaca buku motivasi. Alasannya cukup reasonable, tapi juga sangat klise. Oleh seseorang, saya dianjurkan agar tak melulu memakan kata-kata motivasi. Kata-kata tersebut tak ubahnya seperti pintu kemana saja milik Doraemon yang selalu memberi solusi bagi kehidupan Nobita. Dan kau tahu? Nobita selalu bergantung pada alat-alat Doraemon, ia bahkan semakin malas dan tak mau bekerja keras. Kata-kata motivasi hanyalah pemanis, obat penenang saat kita kacau dan suntuk. Lalu setelah kita mengkhatami sebuah buku motivasi, kita tak lantas menjadi pribadi seperti angan-angan penulis buku tersebut. 

Mungkin sebagian pembaca yang manut akan bervolusi total sebagaimana wejangan sang penulis. Tapi beberapa yang lain justru mengalami candu berkepanjangan—termasuk saya! Saya dan beberapa yang lain tersebut menjadi konsumen setia buku-buku motivasi tanpa mengaplikasikan satu pun motivasi dalam buku tersebut. Ya, buku tersebut tak lebih dari obat penenang dan pelarian saja. 

Well, kembali ke awal. Saya tak bermaksud menghasut pembaca agar tak membaca buku motivasi. Termasuk buku yang saya ulas kali ini. Serius, bahkan saya anjurkan para penulis pemula—kayak saya gini, untuk menjadikan buku ini sebagai salah satu koleksi sunnah—kalau dibaca dapat pahala, kalau pun tidak juga tak berdosa.

by Google
Yang menarik, ketika saya membaca buku ini pertama kali, saat itu saya sedang galau dengan nasib kepenulisan saya, hiks.. hiks... Waktu itu saya merasa dalam produktivitas nol, alias tak menghasilkan karya apa-apa. Dan tepat sekali, buku ini adalah salah satu hadiah lomba menulis esai yang diselenggarakan Lembaga Dakwah Kampus yang dengan beruntungnya menjadikan saya pemenang. Nah, Karena dibaca pada waktu yang tepat, maka buku ini cukup bermanfaat mengobati kegalauan saya waktu itu. Sehingga saya pun merasa ingin segera menulis. Ingin menulis sebanyak mungkin dan tak peduli akan keadaan yang kurang mendukung—karena dalam buku ini disediakan ruang kosong untuk menulis alasan kenapa saya menulis. Disitu Afifah menyarankan agar saya selalu ingat dengan alasan yang telah saya tulis tersebut. Sehingga ketika galau, saya bisa membaca kembali alasan yang telah saya tulis tersebut.

Menulis Fiksi dan Nonfiksi
Lanjut pada bagian 2 dan 3, berisi penjelasan singkat tentang macam-macam tulisan. Disusul dengan sub bagian tentang cara menulis, baik karya fiksi seperti cerpen, novel, dan bahkan puisi, hingga karya nonfiksi seperti artikel, esai dan feature. Afifah juga menyisipkan berbagai kutipan penulis terkenal, baik dalam negeri maupun luar negeri. Nampak dari sekian kutipan tersebut menunjukkan bahwa penulis Be A Brilliant Writer tidak sedang membual tentang ke-akuannya sebagai penulis. Afifah Afra memang berkompeten dan sarat referensi. Dan hal ini menjadi nilai plus buku ini. Selain cara penyampaian Afifah yang renyah dan lugas, kutipan-kutipan yang menghiasi pemaparannya juga berpotensi menggiring pembaca agar lebih banyak membaca berbagai referensi.

by Google
Namun ada satu yang membuat saya geli. Mungkin karena karir Afifah lebih melejit lewat karya-karya fiksi daripada nonfiksi, menjadikannya terkesan kaku dan seperti kurang menguasai kiat tentang menulis karya nonfiksi. Misalnya saja, ada beberapa wacana yang saya garis bawahi, dan kemudian saya pertanyakan keabsahannya. 

Pertama yang masih saya ingat ketika Afifah menyebut, “.....menulis berita itu tidak selamanya menjadi pekerjaan wartawan. Semua orang bisa melakukannya. Seperti yang pernah saya lakukan ketika menulis press release untuk sebuah LSM....” Kening saya langsung berkerut setelahnya. Bukankah antara press release dan berita itu berbeda? Meskipun keduanya sama-sama menggunakan kaidah jurnalistik, katakanlah 5W+1H, akan tetapi dalam press release tak ubahnya sebagai senjata para public relations untuk mencitrakan perusahaan atau organisasinya. Berbeda dengan berita, yang penulisannya berdasar pada 9 elemen jurnalistik, dan mengutamakan fakta serta objektivitas. Nah, bukankah keduanya itu beda?

Lalu yang kedua masih di bab tentang jurnalistik, Afifah menulis, “...saat ini gaya penulisan straight news mulai ditinggalkan. Wartawan lebih sering menggunakan gaya feature yang lebih humanis dan tidak mudah basi...” Oke, saya mengiyakan bahwa gaya feature memang diciptakan agar masyarakat tetap setia membaca media cetak karena adanya penulisan berita yang bergaya luwes dan menarik. Namun, mengatakan straight news mulai ditinggalkan, rasanya belumlah tepat. Sebab semua surat kabar yang saya ketahui sampai saat ini masih memuat straight news. Dan itu pasti. Karena gaya penulisan tersebut dianggap lugas dan taktis. Di media online pun juga lebih sering menggunakan gaya ini. Jadi ya kurang tepat saja ketika ada ungkapan di atas.

Hmm... banyak hal yang bisa kita gali lewat buku setebal 272 halaman ini. Mulai dari bagaimana memotivasi diri untuk menulis, kemudian praktek menulis, lalu mempublikasikan dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Bahkan, bagaimana cara mengelola penerbitan sendiri, semua dibahas oleh Afifah sesuai pengalamannya di dunia tulis menulis selama 25 tahun lebih. 

“Menulis jangan sekadar sebagai hobbi, akan tetapi sebagai perwujudan untuk memberi manfaat bagi umat.” Begitulah ungkapan khas penulis religius seperti Afifah Afra. Wallahu’alam... Be A Brilliant Writer, sebuah buku yang baik, dan tentu akan lebih baik ketika pembaca tak cuma termotivasi, tapi juga segera aplikasi.

Komentar